Flash Fiction
Disukai
4
Dilihat
1,568
Pekerjaan Rumah Dua Puluh Tahun Lalu
Drama

Di bagian bawah kertas berisi karya yang kubuat, aku mengimbuhkan sebuah tanggal berjarak dua puluh tahun, sepuluh bulan dan sepuluh hari dari tanda pada kalender di mejaku.

Dengan demikian, esok pagi aku bisa berharap bertemu dengan sosok yang selalu kunantikan kemunculannya di pintu kelas, untuk menjemputku menuju kantin pada jam istirahat, di dua puluh tahun yang lalu.

Kukeluarkan gawai hitam pudar seukuran telapak tangan dari laci meja, kusapukan jemari pada barisan keypad hitam mungil yang dibubuhi angka dan alfabet warna putih di bagian atasnya. Lalu kutekan tombol power dan menggemalah sebuah irama yang seolah tak pernah tua.

Dadaku berdebar membuka kotak pesan, kugulirkan beberapa short message hingga kutemukan namamu sebagai sender.

"Hei, PR pesananku sudah kamu kerjain belum? Jangan lupa dibawa besok, ya!" Demikian isi teks yang kamu ketikkan untukku.

Begitulah kamu yang jago metematika mengandalkanku dalam hal mengerjakan tugas pelajaran kesenian.

Setelah memasukkan PR untukmu ke dalam tas selempang merah muda, akupun tertidur.

Mataku terbuka terkena cahaya mentari pagi yang menerobos kaca jendela, segera saja aku mandi dan menyiapkan diri. Kuraih seragam batik berwarna coklat muda dengan pattern logo Sekolah Menengah Atas tempat kita bersua dalam waktu yang lama, lalu kukenakan bersama rok hitam pekat. Aku mendengus bangga. Pakaian ini sangat pas dan sesuai dengan tubuh langsingku.

Aku melangkah keluar rumah setelah melambai dan bertukar senyum dengan orang-orang di sana. Dengan semangat yang memenuhi rongga dada, aku berjalan kaki menuju sekolah kita yang hanya berjarak beberapa blok saja dari tempatku berada.

Sesampainya di gerbang sekolah, sepatu pantofelku bergemeletuk menghampirimu, kuserahkan kertas berisi sektsa buatanku padamu, yang masih selalu sama seperti kamu dua puluh tahun lalu.

***

Beberapa menit sebelum pertemuan tadi dua orang lelaki berbincang dalam mobil yang terparkir agak jauh dari gerbang sekolah.

"Kenapa tidak turun menemui wanita itu?" tanya seorang pemuda berwajah rupawan.

"Aku tidak bisa meskipun mau, karena yang ingin ia temui adalah diriku... di dua puluh tahun yang lalu." Lelaki yang rambutnya beruban itu menjawab seraya menepuk pipi putranya, yang serupa dengan dirinya pada dua puluh tahun lalu.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
makasih banyak ya @keefe sudah mampir bacašŸ„°
Ada nuansa puitis dari awal narasinya. Dan flash di akhir memberi cliffhanger yang membuat penasaran ada kisah apa di masa lalu. Mantabbb!