Perasaanku begitu pilu. Setelah sekian bulan memendam rasa pedih yang mendalam. Dengan tergopoh aku melangkah masuk ke dalam kamar, langsung kucium kaki seseorang yang tengah berselonjor di atas ranjang. Tangisanku pecah dalam waktu seketika saja. Sungai kecil itu tak hanya membanjiri wajahku, tapi turut membasahi kaki manusia paruh baya yang tak berdaya itu.
“Udah, nggak usah nangis!” kata Bapak seraya mengelus ujung kepalaku dengan pelan.
“Karena kaki ini, aku bisa makan. Karena kaki ini, aku mendapat baju baru. Karena kaki ini juga aku bisa sekolah,” ucapku seraya terisak. “Mungkin kaki ini lelah menopang beban hidup.”
“Kaki ini nggak pernah lelah!” ujar Bapak. “Bapak yakin kaki ini akan kembali seperti dulu!” lanjutnya.
Aku mendongak. “Enggak, Pak! Kaki ini akan sehat lagi, tapi bukan untuk kembali ke masalalu.” Sejenak aku menghela napas. Kupandangi wajah Bapak yang terukir guratan-guratan menahan rasa sakit. “Biarin aku yang akan menggantikan topangan beban hidup pada kaki ini,” pintaku seraya mengelus kaki Bapak.
Keesokan harinya, aku bersiap. Dengan sekuat tenaga seraya mengucap lirih kalimat basmallah, kudorong gerobak es yang terbuat dari besi. Aku terus melangkah. Ingatanku kembali ke beberapa bulan lalu. Tiga puluh tahun lebih Bapak memperjuangkan kehidupan keluarganya.