Dua belas tahun yang lalu, tanggal 16 Agustus 2011, di sore hari, aku melihat seorang pria tua berjualan bendera Merah Putih. Dengan gerobak panjang dia menjual aneka bendera, lengkap dengan tiang bambunya. Dagangannya tampak masih sangat banyak. Sepertinya kurang laku, atau, kalaupun laku, mungkin hanya terjual satu buah bendera yang ukurannya paling kecil.
Entah berjalan dari mana, saat tiba di seberang rumahku, pedagang tua itu pun berhenti. Mendeprok di depan pagar rumah tetangga depanku. Raut wajahnya sampai sekarang masih terbayang-bayang jelas dalam benakku. Lelah dan getir. Sesekali ia mengembuskan napas panjang, sesekali ia menengok pada barang dagangan miliknya. Dalam benaknya ia mungkin merasa telah gagal. Sebagai seorang pedagang dadakan, atau bahkan sebagai seorang manusia.
Hatiku amat sedih melihat pria tua berkaus kuning itu. Bagaimana jika itu adalah ayahku? Aku teringat pada bapakku yang sepertinya berusia hampir sama dengannya.
"Indonesia ... tanah airku. Tanah tumpah darahku. Di sanalah, aku berdiri ..."
Tiba-tiba pedagang tua itu menembang, dengan kepala menengok ke atas.
"Hiduplah tanahku ... Hiduplah Negeriku ... bangsaku, rakyatku, semuanya ..."
Serasa ada bambu runcing tak terlihat, yang langsung menusuk lubuk hatiku. Memperhatikan raut wajahnya yang berharap pada Tuhan, pada negara, atau pada jiwa-jiwa para Pahlawan dengan bernyanyi.
"Hiduplah Indonesia Raya ...."
***
Hari ini ... sore tadi ... aku melihat kejadian serupa, yang sama persis.