Namanya Samara dan matanya adalah warna tanah lembap terkena air hujan, teduh seperti langit tenang sebelum badai datang, segar seperti embusan angin dingin dari laut, lalu dibungkus oleh semburat merah oranye tanda senja yang tertutupi awan. Betul-betul suasana favoritku.
Oh, dan dia adalah tetanggaku. Dia dan keluarganya yang beranggotakan seorang ayah, ibu, dan adik lelaki.
Kembali ke mata Samara, orang akan melihatnya sebagai cokelat biasa. Membosankan, terlalu generik. Namun bagiku, warna mata Samara justru adalah yang paling menakjubkan, yang paling aku inginkan sejauh ini sejak pertama kali aku melihatnya. Warnanya menyimpan suasana favoritku, seperti yang sudah kujelaskan.
Sebenarnya bukan hanya Samara, anggota keluarganya juga memiliki warna yang indah, meski tidak ada yang membuatku sangat terpana seperti mata Samara. Jika harus kuberi peringkat, hijau cerah dengan sedikit corak emas di mata adiknya ada di peringkat kedua setelah Samara. Mengingatkanku pada hamparan ladang jagung di bawah langit cerah tak berawan.
Samara dan keluarganya baru pindah bulan lalu, menempati rumah besar yang sudah kosong selama bertahun-tahun setelah pemilik sebelumnya meninggal. Letaknya tepat di hadapan rumahku.
Ibu-ibu di perumahan sudah banyak bergosip bahkan ketika keluarga tersebut belum menginjakkan kaki di rumah baru mereka. Setiap kali ada permintaan untuk memotong rumput di pekarangan rumah salah satu dari mereka, aku sering mendengarkan perbincangan itu. Jangan salahkan aku, kalian tidak tahu sebesar apa bisik-bisik mereka ketika bergosip.
“Sudah dengar Keluarga Moore yang akan menempati rumah bekas Si Tua Hansel?”
“Bukankah katanya Hansel adalah paman dari Mr. Moore? Gawat, sudah pasti keluarga tersebut sama anehnya seperti kakek tua itu!”
“Aku punya ponakan yang bekerja di perusahaan Mr. Moore. Kudengar Mr. Moore punya dua anak, yang perempuan tidak pernah berbicara, sedangkan yang lelaki seperti jelmaan iblis ketika marah! Sudah pasti ada yang salah dengan keluarga itu!”
“Betul kah? Tidak ada bedanya dengan Si Tua Hansel kalau begitu!”
Aku seringkali menahan diri untuk tidak berkomentar. Betapa tidak bermanfaatnya ibu-ibu itu bergosip buruk mengenai keluarga yang bahkan belum mereka temui.
Karena itu, ketika bertemu dengan Keluarga Moore, aku bersikeras mencari kebenaran di balik gosip-gosip tersebut.
Pertemuan pertamaku dengan Samara bisa dibilang tidak terlalu menyenangkan, khususnya bagiku, karena tidak keren sama sekali. Dari semua waktu yang ada, aku harus terjatuh dari atas pohon apel dengan tidak gagahnya ketika tak sengaja bertatapan dengan Samara. Yah, mungkin itu hukuman karena aku berniat mencuri apel dari Mrs. Goodwill, tetangga sebelah rumahku.
Namun, itu tidak buruk juga. Aku langsung bisa menyaksikan senyum geli Samara di pertemuan pertama kami, senyum yang membuat ujung matanya berkerut dan warnanya semakin bersinar, manis sekali. Mungkin aku harus lebih menghargai kebodohanku kadang-kadang.
Samara memang tidak berbicara, bukan karena dia bisu tetapi karena ia tidak mau. Sudah bertahun-tahun begitu, katanya lewat tulisan, sampai aku bertanya-tanya apakah suaranya masih ada jika tidak digunakan selama itu?
Aku tidak sempat menanyakan alasan ia tidak mau berbicara, tapi aku yakin Samara akan segera menceritakannya padaku karena kami akan menjadi teman yang baik.
Kenapa aku begitu percaya diri? Oh, kalau saja kalian bisa melihat kedua matanya yang berkilat tergenang oleh air mata dan senyum kecilnya ketika aku memintanya untuk menjadi temanku. Dia bilang aku adalah teman sebaya pertamanya selama 17 tahun ia hidup.
Aku tentu saja senang mendengarnya. Hey, ternyata aku adalah teman pertama sang pemilik mata terindah!
Aku berjanji akan terus menemani Samara, tidak peduli dengan rumor dan gosip buruk mengenai dia dan keluarganya.
Aku tidak bisa menyangkal bahwa Mr. Moore memang pria yang sedikit aneh, dan Mrs. Moore seringkali berteriak marah akan sesuatu yang kecil, tetapi Samara tidak pernah melakukan hal-hal mistis seperti bermain voodoo. Mungkin penampilannya yang suram dan fakta bahwa ia tidak berbicara membuat orang mengira Samara adalah penyihir.
Oh ya, aku juga bisa pastikan bahwa adik lelakinya, Morgan, ketika marah memang sedikit seperti … monster. Tetapi di waktu baik, Morgan, yang berusia tiga tahun lebih muda, cukup menyenangkan untuk diajak bermain.
Maka, tidak peduli seburuk apapun rumor yang menempel pada Samara, aku akan mengabaikannya. Aku selalu bersama Samara, selalu di sana untuknya, makanya aku tahu itu semua tidak benar.
Kalau kalian lihat matanya yang menyipit bahagia saking lebar senyum Samara ketika aku mengecup pipinya, kalian pasti ikut jatuh cinta.
***
“Ini dengan keluarga Adams, ada yang bisa saya bantu?”
“Halo, saya dari kepolisian setempat, bisakah saya berbicara dengan Mr. Theo Adams?”
“Ya, saya sendiri, ada apa?”
“Anda merupakan teman dari Samara Moore, betul? Ayah dari Ms. Moore baru melaporkan kabar hilangnya Ms. Moore yang belum pulang sejak kemarin.”
Jantungku berdegup sedikit terlalu cepat, tetapi berusaha kutahan gemetar di tangan dan suaraku.
“Samara hilang? Bagaimana bisa?”
“Kami masih menginvestigasi, sejauh ini kami sedang mencari siapa orang terakhir yang bersama Ms. Moore sebelum menghilang. Bisakah kami meminta keterangan dari Anda?”
Segera kusanggupi permintaan polisi tersebut. Setelah berusaha bertanya lebih lanjut mengenai kasus hilangnya Samara, perbincangan kami berakhir dan aku ditinggalkan dengan banyak pikiran.
Samara hilang? Tidak mungkin.
Aku menatap pantulan diriku di cermin yang berada di dekat telepon, lalu menarik napas panjang dan dalam untuk menenangkan detak jantung yang tidak kunjung normal. Aku harus bisa menjaga sikap ketika berhadapan dengan polisi.
Namun, ini berarti mereka belum menemukannya di bawah jembatan dekat hutan.
Aku mengernyit pada cermin, berlatih agar mataku terlihat berkaca-kaca dan ekspresiku sedih. Tak lama, aku mendecak. Aku tak pernah suka warna mataku. Hitam biasa, membosankan, jelek, sedih, dan tidak spesial.
Duh, sekarang perasaanku kacau karena mata sialan ini dan juga gemetar karena mengantisipasi pertemuanku dengan polisi. Sebaiknya aku melihat warna yang mengingatkanku pada senja gerimis di dekat laut, pikirku sambil berjalan menuju loteng.
Oh, ya, mulai saat ini aku juga harus mulai mengejar warna selanjutnya: ladang jagung di bawah langit cerah tak berawan. Beruntung Morgan sudah mulai nyaman dengan keberadaanku.
Aku tak bisa menahan senyumku ketika melihat tabung kaca berisi cairan dan dua bola dengan bulatan warna sempurna itu.
Seperti ada aliran listrik yang menyengat tubuhku begitu aku melihat cokelat hangat di sana. Ah, walau kuambil dari tempat asalnya, warnanya masih hidup.
Kuusap tabung kaca tersebut, berbisik pelan penuh kasih sayang.
“Halo, Samara.”