Cafe, coffee, caffeine, nicotine, theine, morphine...
Lebih baik kita kembali ke cafe. Di sana ada orang-orang yang menikmati dirinya, menemukan dirinya, ada yang membenci dirinya. Malam sudah larut, tersisa dua orang, tampaknya tidak saling mengenal, aku sendiri tidak mengenal mereka. Mereka dua, dua hati yang berbeda, dua jiwa yang sama sekali lain.
Yang wanita, cantik, pucat, rambutnya hitam lurus sebahu, 20-an, matanya bulat indah, bibirnya karamel. Ia membalut tubuhnya dengan jaket yang ujung-ujungnya dari binatang. Wanita itu hot lemon tea.
Di luar hujan.
Yang pria, rambutnya hitam cepak, kulitnya hitam, hidungnya mancung, bibirnya madu, matanya indah. Bulatnya lembut seperti mata anak anjing, menantang. Ia kurus, dengan jaket hitam, tampak tak peduli, muda, 20-an akhir. Pria itu Marlboro merah dan espresso panas.
Di luar hujan.
Wanitanya, dengan bibir karamel, sesekali melirik pria Espresso, aku, barista.
Prianya, dengan bibir madu, sesekali melirik wanita hot lemon tea, aku, lilin-lilin mengapung yang tak pernah mati.
Di luar hujan.
Wanitanya kedinginan, ia keluarkan Capri, menyalakannya dengan lilin apung yang tak pernah mati. Mascaranya sedikit luntur mungkin habis menangis, mungkin memang begitu sejak semula.
Prianya terkadang senyum-senyum sendiri, mungkin ia jatuh cinta, mungkin memang begitu sejak semula.
Kini aku melihat ke luar café ke arah permainan lampu-lampu kota. Aku terbang ke sana sebentar.
Di luar hujan.
6 Februari 2003
delapan malam
Bandung
-ketika bulan muram di atas kota di lembah dingin-