"Pulanglah, Nduk, bapak kritis,” kata seorang wanita di sebarang sana.
“Nggih, Bu, besok pagi Maryam pulang.”
“Jangan besok takutnya bapak sudah ....” Suara ibu terputus tergantikan isak tangis yang menyayat hati.
“Nggih, Bu,” kataku lemah kemudian memutuskan sambungan telepon karena tak tahan mendengar tangisan wanita yang telah melahirkanku dua puluh tahun silam itu.
Pulanglah Nduk, bapak kritis. Lagi-lagi kata-kata ibu menggema di kepala.
Aku membaringkan diri di atas kasur kapuk satu-satunya yang ada di kamar kos. Pikiran yang kacau mulai menerawang jauh mengingat kenangan masa kecil di kampung halaman.
Aku merupakan bungsu dari tiga bersaudara, kakak pertamaku bernama Nabila, dia memiliki paras cantik dengan mata besar, alis nanggal sepisan dan bibir semerah buah delima. Mbak Nabil telah menjadi istri seorang mubaligh besar kota sebelah.
Kakak keduaku, Mas Zidan, terlahir dengan paras tampan—kata orang-orang dia mirip bapak saat muda. Tahun lalu Mas Zidan telah menyelesaikan kuliah di Mesir dan sekarang sudah menjadi seorang dosen di salah satu universitas terbaik di kota kami. Setiap hari Minggu, Selasa dan Kamis pagi dia selalu setia menemani bapak memberi ceramah di masjid yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah, bisa ditempuh sekitar lima belas menit dengan jalan kaki. Binar bahagia terpancar di mata bapak ketika melihat Mbak Nabil dan Mas Zidan berhasil memenuhi harapannya, tapi tidak denganku yang memilih tidak melanjutkan ke jenjang kuliah karena bapak melarang masuk jurusan sastra.
“Keluar dari rumah ini jika kau tak bisa diatur!” ucap bapak dua tahun lalu.
Segera kukemas barangku yang tak seberapa dan pergi dari rumah. Saat itu ibu menangis di depan pintu tak kuasa mencegah kepergianku.
“Sudahlah, Bu, ndak perlu dicegah. Biarkan dia pergi!” teriak bapak dari dalam rumah.
Aku pergi dengan luka yang menganga, rasa sedih, kecewa dan marah bercampur jadi satu.
Pulanglah, Nduk, bapak kritis.
…
Malam itu bus penuh sesak oleh penumpang, satu jam berdesak-desakan dengan penumpang lain dan aku masih belum mendapatkan tempat duduk. Dalam keramaian itu aku kembali teringat bapak. Bapak sangat sayang dengan anak-anaknya tapi beliau terlampau tegas dalam mendidik kami dan hanya aku yang menyerah dengan pola asuh bapak.
Entah mengapa air mata jatuh membasahi kedua pipiku tanpa diminta, pertanda apa ini ya Gusti?
Semoga aku belum terlambat, semoga bapak tidak apa-apa.
Aku merapalkan semua doa yang kutahu, mengharap bapak bisa sembuh dan memaafkan semua kesalahanku.
…
“Maryam di mana?” kata bapak setelah sadar dari komanya.
Aku mendekati bapak, mencium kening beliau dengan air mata yang berderai.
Ibu tersenyum melihat bapak yang sudah siuman, Mbak Nabil dan Mas Zidan ikut segera mendekat di sisi kanan dan kiri ranjang bapak, wajah mereka bahagia tapi juga ada sisa air mata yang dapat kulihat.
“Maryam di mana, Bu?” tanya bapak lagi.
Ibu pernah bercerita, katarak yang diderita bapak membuat beliau tidak bisa melihat dengan jelas mungkin karena ini bapak tidak mengenaliku.
“Maryam di sini, Pak,” kataku lirih mencoba menenangkan.
Tiba-tiba suara tangis ibu dan Mbak Nabil pecah sedangkan Mas Zidan yang berdiri di sebelahku menggenggam tangan bapak.
“Maryam ada di sini,” bisik Mas Zidan hampir tak terdengar, tanggannya kini menyentuh dada bapak.
“Iya, Pak, Maryam di sini. Bapak ndak usah khawatir.” Aku mencoba menenangkan.
Bapak kembali menutup mata, kali ini air mata membanjiri kedua mata tuanya.
“Di mana Maryam?” Meski masih lemah kini suara Bapak naik satu oktaf.
“Maryam mengalami kecelakaan kemarin ketika akan ke sini, Pak,” jawab Mas Ziddan dengan suara yang gemetar.
Setelah itu ibu pingsan dalam pelukan Mbak Nabil sedangkan aku masih tak mengerti apa yang sudah terjadi, hingga tubuhku perlahan menjadi tembus pandang dan akhirnya menghilang.
Tamat.