Jarum jam mengarah ke pukul 7, tapi Rena baru berangkat dari rumahnya. Ia bergegas menuju halte bus empat blok dari rumahnya. Padahal, saat itu dandanannya masih berantakan.
Semalam Rena bergadang sampai menjelang pagi, sebelum akhirnya ketiduran karena kelelahan. Rena bergadang bukan karena mengerjakan tugas-tugas sekolah, tetapi karena pikirannya tidak bisa tenang. Semalaman itu, ia terus menerus memikirkan Reno.
Reno adalah seorang siswa dari SMA lain. Rena mengenal Reno kurang lebih tiga bulan yang lalu ... ah, sebenarnya, dikatakan mengenal juga tidak tepat. Rena tahu nama pemuda jangkung itu dari badge nama di seragamanya.
Rena mengenang pertemuan pertamanya dengan Reno ...
"Hei, bamgun," kata Reno dalam ingatan Rena. "Itu sekolah elu, kan?"
Rena terbangun tergagap. Kepalanya sedang tersandar di bahu Reno. "Oh, iya," balasnya singkat dan canggung.
Rena segera berlari menuju pintu dan turun di halte sekoahnya. Ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih ataupun maaf pada Reno.
Sejak hari itu, Rena tidak bisa berhenti memikirkan Reno. Sejak itu pula kehidupan sekolah Rena yang hanya diisi dengan belajar dan belajar akhirnya menemukan sebuah pengalaman baru yang membuatnya sangat, sangat bahagia.
Sayangnya, Rena yang hanya tahu cara menyelesaikan soal-soal dan membuat bahan presentasi hanya bisa tergagap di depan Reno. Ya, selama 5 hari dalam sepekan dalam 3 bulan itu, Rena hanya bisa merunduk ketika pemuda itu menyapanya dengan senyum hangat.
"Ah, dia emang orangnya ramah. Dia senyum ke semua orang, kok. Guenya aja yang ke-ge-er-an." Rena meyakinkan dirinya setiap pagi, setiap ia turun dari bus dengan jantung berdebar-debar.
Namun, setelah sekian lama, Rena akhirnya mengubah pikirannya itu. Hari ini, setidaknya ia akan mengenalkan dirinya dengan layak pada Reno, dan kalau bisa, mendapatkan nomor kontaknya. Apalagi, ini adalah kesempatan terakhir
Ya. Setelah hari ini, Rena takut tidak akan ada kesempatan lagi. Sebab, hari ini adalah hari pengumuman kelulusan siswa tingkat SMA di kotanya. Dengan kata lain, hari terakhir bagi Rena untuk naik bus ke sekolah dengan seragamnya.
Halte bus tinggal satu blok lagi. Rena kemudian mempercepat langkahnya hanya untuk segera berhenti. Dari jarak beberapa meter, ia melihat sosok Reno sedang berpelukan dengan seorang gadis.
"Apaan, sih, Yang," seru Reno, "Banyak orang, nih. Malu dikit napa!"
Mendengar itu, dunia Rena runtuh seketika. Ia berbalik arah, berlari secepat yang ia bisa. Ia tidak peduli lagi dengan sekolahnya.
"Iyalah, Rena. Lo ngarepnya kebangetan!" Rena menyalahkan dirinya sendiri. Pipinya yang tirus basah karena air mata.
***
Reno melirik jam tangannya untuk ke sekian kali. Sudah pukul 07.15. Hatinya semakin resah.
Reno sudah sudah menunggu di halte sejak pukul 6 pagi. Bukan karena ia hendak berangkat ke sekolah, tapi karena ia ingin berjumpa dengan seorang siswi daei sekolah lain. Selama tiga bulan terakhir, mereka selalu berangkat ke sekolah dengan bus yang sama.
Lima hari sepekan dikali tiga bulan. Selama itu kurun waktu itu, Reno selalu datang lebih awal ke halte bus ini untuk memastikan dirinya menaiki bus yang sama dengan gadis itu. Namun sayangnya, Reno masih belum berani berbicara dengan gadis itu lagi sampai saat ini.
Awalnya tidak begitu. Reno tidak merasa canggung sama sekali saat menegur gadis itu pertama kali mereka bertemu. Saat itu, gadis berkacamata tebal itu tertidur dan bersandar di bahunya. Ketika terbangun, gadis itu berlalu begitu saja.
"Pasti gara-gara tampang gue kayak berandal," pikir Reno saat itu. Seketika itu dirinya tiba-tiba merasa rendah diri.
Gadis itu adalah stereotipe kutu buku berjalan. Kacamata tebal. Sweater tipis senagai atasan. Lalu buku pelajaran yang selalu berada di kepitan tangan untuk dibaca sewaktu-waktu.
Sementara itu, Reno adalah pelajar urakan. Seragam sempitnya tak pernah ia kancing penuh. Leher dan pergelangan tangannya penuh pernak-pernik. Tasnya juga tidak pernah terisi dengan buku-buku pelajaran.
Keduanya adalah dua kutub yang sama sekali berlawanan.
Namun, Reno tidak serta merta menyerah. Sejak itu, ia selalu merapikan penampilan dan berhias setiap hari. Meskipun masih belum berani mengajak gadis itu mengobrol, setidaknya ia bisa memberikan senyum yang tulus.
Ia melakukannya dari hari ke hari, entah kenapa. Dan malam tadi, Reno akhirnya menyadari bahwa dirinya mungkin sedang jatuh cinta ...
"Reno!" Seseorang memanggil namanya.
Reno berharap panggilan itu berasal dari orang yang dinantikannya. Namun ia segera kecewa ketika menoleh.
Yang barusan memanggilnya adalah Yanggi, teman sekelasnya. Gadis tomboy yang kelewat supel. Gadis itu memeluk Reno.
"Apaan, sih, Yang! Banyak orang, nih. Malu dikit napa!"
"Dih, jaim banget lu, No!" balas Yanggi. "Lu masih belum bales chat gue ... jadi gimana? Jadi nongkrong ama gue ngga hari ini?"
Reno menggeleng. "Sorry, Yang. Gue suka ama orang lain."
"Anjir. Gue ngajak lu nongkrong, bukan pacaran!"
"Sama aja buat gue."
Yanggi mengangkat bahu. "Oke, deh. Gue nge-date ama Joko aja," seloroh Yanggi, lalu kembali menunggangi motor sport-nya yang terparkir tak jauh dari halte.
Reno melihat sosok Yanggi yang mengecil di kejauhan seperti melihat masa lalunya. Empat bulan yang lalu, ia adalah seorang pembalap liar yang menggeber motor ke mana saja. Setelah mengalami kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya, ayahnya menyita motor kesayangannya itu.
Reno memperhatikan sosoknya yang terpantul tipis di kaca halte dan tersenyum tipis. Tampilannya sekarang sudah jauh berbeda dengan yang dulu. Dan ia merasa bahagia dengan dirinya yang sekarang.
Reno kembali menengok jam tangannya. Sudah pukul 07.25. Ia tetap menunggu.
Hari itu, Reno tidak pernah sampai ke sekolah dan merayakan kelulusan bersama teman-temannya. Sampai senja menutup hari, ia masih berdiri di halte yang sama. Menunggu orang yang sama.