Hampir satu tahun, yang diharapkan kini hanya menghasilkan dua cabang jalan yang membuahkan dilema yang ndak tahu akan berujung seperti apa? Dua pilihan yang ada dibenak saya, itulah yang sampai saat ini masih terus meracuni pikiran saya. Setelah perdebatan merenggut komunikasi yang semulanya baik-baik saja—menjadi petaka lelah diantara kita. Pada awalnya saya percaya. Rasa itu tetap ada padanya, cinta itu masih berbuah kasih-sayang, terpupuk doa tulus untuk saya, teruntuk kita—keputusan untuk mengakhiri hubungan yang sebelumnya telah dibangun di atas komitmen diantara kita, tidak semerta-merta berakhir begitu saja. Ini hanya soal tenggang waktu untuk mengobati lelah yang kian menjalari rindu yang selalu menolak temu.
Saya menyetujui keputusannya bukan karena saya ingin melepasnya bukan, bukan itu. Lantas, saya hanya memberikannya waktu untuk berdamai dengan dirinya sendiri, begitupun saya. Mencoba untuk saling mengintropeksi diri dan hati: apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuat masalah ini kian berlarut? apa pemicunya dan siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus mengalah dan apakah semuanya bisa kembali seperti sebagaimana di awal saat kita berkomitmen dan tetap sama-sama menjadi support system yang kemudian akan tetap terjaga hubungan baik yang dipisahkan oleh jarak ini? Karena saya sangat mengenalnya, mengenal hatinya dan saya tahu kalau dirinya pun sangat mencintai saya. Dan ya, satu, dua bulan sudah terlewati tanpa kabar, tanpa komunikasi, tak ada sapaan tak ada panggilan telefon, tak ada selamat pagi, dan tak ada selamat malam darinya. Senyap, dingin, notifikasi darinya kian membisu, serupa jangkrik yang telah selesai dengan malamnya.
Yang harus selalu diingat adalah apa yang memotivasi untuk mendapatkan perhatian dan support dari teman-temannya, keluarganya jarang sekali memotivasinya. Saya mendapatkan motivasi itu dari apa yang bisa diraih oleh kesetiaannya atau support atau upayanya dalam mewujudkan impian yang telah dibangun dari awal. Saya dimotivasi oleh gambaran besar dari koneksi yang selalu diberikan kepada saya—bagaimana hasil yang akan kita dapat kemudian hari. Saya yakin itu. Masalahnya, orang-orang yang ingin saya dekati dan ajak untuk membantu menyeimbangkan keadaannya hanya melihat gambaran kecil dari pengalaman mereka terhadap saya. Mereka melihat motivasi saya hanya dari gambaran kecil. Mereka dimotivasi oleh bagaimana keadaan saat ini. Itulah yang selalu saya tanamkan keyakinan padanya, karena bertemulah obat dari semua keraguan yang mereka keluhkan padanya. Orang-orang kerap menanyakan ini tentang saya: "Seberapa bernilainya hubunganmu dengan orang ini?" Maka itulah yang membuatnya ragu, serta kesalahpahaman yang saya tuturkan membuahkan hasil yang membuatnya lelah.
Tiga bulan berlalu, saya pun kembali menghubungi bukan karena rindu terhadap caranya mendengarkan, caranya memberikan perhatian, caranya dalam berekspresi, caranya mengapresiasi atas apa yang saya lakukan, saya tahu kalau semua itupun tak mungkin ia berikan kembali. Adapun yang saya rindukan adalah sosoknya, saya rindu pembawaannya dalam bersikap, saya rindu dirinya, saya rindu kepada hatinya yang baik dan tulus.
Kembali ke antara dua pilihan. Ya, pilihan pertama adalah apa yang saya harus lakukan adalah: menghampirinya menemuinya, menghadapkan niat baik, memberikan kepastian yang jelas, kepada keluarganya dengan tujuan untuk meyakinkan bahwa saya pun bisa melakukan itu, karena cinta saya kepadanya tidak sebercanda itu, karena saya tahu kasih-Nya pun tak akan tersekat menebar kasih, Rahmatan lil'aalamiin. Mewujudkan impian yang didambakan bagi kedua orang tuanya, itulah yang mungkin bisa saya lakukan, lebih-lebih mengobati rindunya yang telah tertahan lama. Atau, pilihan kedua. Ya, menemui keluarganya tanpa memberi kabar padanya. Pilihan ini yang menurut saya sangat tepat yang akan saya lakukan. Karena dengan demikian cara inilah yang terbaik yang selalu diharapkannya. Namun, semua gambaran dan rencana yang ada dalam benak saya, ternyata tidak semulus apa yang saya harapkan.
Dalam hubungan yang sekarang sudah berbeda, komunikasi tetap saya jaga, mula-mula saling menanyakan kabar dan saling menanyakan aktifitas dalam keseharian, banyak kisah dan cerita yang kami tumpahkan satu sama lain. Dari mulai pekerjaan baru, teman baru, tempat baru, bertemu orang-orang baru, dan pengalaman-pengalaman baru tentang sudut pandang menyikapi kehidupan. Banyak lagi yang kami bicarakan, hingga obrolan pun semakin menarik dan kita mencoba untuk mengungkapkan soal rasa yang terpendam dalam dada. Walaupun saya tahu, dirinya sudah berbeda bukan tanpa alasan, karena akhirnya saya pun tersadar bahwa dirinya tidak menginginkan kembalinya saya. Tidak ada yang perlu disesali atau tak ada lagi yang harus disalahkan atau menyalahkan, karena menurut saya, selalu ada pesan dan kesan yang diberikan oleh Tuhan, dan ya, "Kehendak Tuhan selalu ada di balik setiap fenomena personality, kan?
Singkat cerita.
"Dri, aku sudah mau menikah", kalimat terakhir itu yang membuat saya terharu sekaligus bahagia. Terharu dan takjub bagai rengek seorang bocah dipangkuan hadiah. Saya terharu, kenapa bisa secepat itu? dan mengapa tak ada pertimbangan atas keputusannya untuk menerima lamaran itu? dan. Ya, saya tidak tahu lebih tentang informasi yang diberikannya kepada saya, yang saya tahu hanya teman satu kampungnya yang kemudian diam-diam menyimpan rasa padanya.
"Tiba-tiba datang dengan orang tuanya",
"Lalu kamu terima?", tutur saya bertanya.
"Iyah, aku terima".
Ya, restu kedua orang tua yang menjadikan hijab doa menyajikan kesakralannya. Saya bahagia dan senang tentunya. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dan saya tak tahu itu, hatiku terkesiap jiwaku seakan rapuh. Hanya doa yang kemudian saya sampaikan dan yang terakhir... Teruntuk kamu, "Saya sayang sama kamu, saya mencintai kamu karena-Nya and good bye."