Wanita berkaki jenjang melangkah tak menghiraukan pasir basah yang menenggelamkan langkah. Suara ombak yang terlalu lembut hampir tak terdengar deburnya merengkuh pantai. Lila masih saja menikmati langkah menyusur pantai sementara matahari perlahan meninggalkan waktu asar.
"Aku akan duduk di tempat biasa," gumam Lila.
Dengan sedikit berlari wanita itu menuju pohon cemara di pantai.
"Mas Jen pasti akan menunggu di sana juga." Lila masih berbicara sendiri.
Tak lama tubuhnya sudah berhenti di bawah pohon cemara yang diingini. Tanpa menyingkirkan beberapa sampah daun Lila duduk.
"Dari sini terlihat jelas jika Mas Jen datang."
Lila bersenandung lagu yang biasa dinyanyikan suaminya jika duduk berdua di pantai. Sudah satu jam, dan Lila merasa resah lalu menghentikan senandungnya. Wajahnya mulai terlihat cemas.
"Tidak biasanya kamu terlambat lama, Mas," bisik Lila.
Ketika lembayung mulai mewarnai langit, wanita itu menatap batas cakrawala penuh pengharapan. Lila tidak mendengar langkah tergesa mendekat. Seorang laki-laki muda perparas manis menatap Lila sambil menghela napas. Perlahan sosok atletisnya duduk di samping wanita yang sedang merindu.
"Kak Lila, kita pulang, yuk," ucap pemuda itu.
"Ton, Mas Jen tidak pernah bohong, dia pasti datang," jawab Lila tanpa mengalihkan tatapan.
"Ini sudah hati ketiga, Mbak Lila menunggu,"sahut laki-laki muda.
"Mas Jen pasti datang, Ton. Suamiku tidak pernah bohong." Nada bicara Lila meninggi. Dada pemuda itu berdesir saat melihat air mata perlahan luruh di pipi putih kakaknya.
"Kita pulang, Mbak, ini harus diakhiri. Mas Jen sudah dipanggil pulang."
"Hah?! Apa maksudmu, Ton?"
"Mbak Lila harus mengikhlaskan Mas Jen agar tenang di sisi NYA."
"Tidak! Tidak mungkin!"
Dan pemuda itu segera merengkuh tubuh wanita berkulit putih yang terkulai.