"Apa-apaan ini, Mas?!” teriak Martini memecah keheningan malam.
Wanita itu tidak pernah menyangka suaminya akan terperosok dalam jurang kesesatan. Menurutnya, Romli adalah laki-laki realistis yang tidak akan percaya dengan hal-hal berbau mistis. Namun, semua anggapan itu runtuh ketika tanpa sengaja mendapati sang suami sedang melakukan ritual pemujaan. Aroma kemenyan bercampur dengan wangi bunga kenanga dan darah ayam hitam menyapa indera penciuman Martini, membuat wanita itu ingin memuntahkan makan malamnya.
“Aku bisa menjelaskan semuanya,” kata Romli kaget ketika melihat kehadiran istri cantiknya di ruang pemujaan.
“Tidak, aku tidak ingin mendengar apa pun!”
Martini membuang semua sesaji, melemparkan darah ayam hitam ke sembarang arah membuat lantai ruangan yang semula berwarna kuning menjadi merah.
“Hentikan, Sayang.” Romli mencoba menenangkan sang istri, “Jangan seperti ini, Sayang. Mereka bisa marah.”
“Mereka? Mereka siapa?” Martini mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada siapa pun selain mereka berdua.
“Persetan dengan semuai ini! Kamu berubah, Mas. Aku membencimu!” Tubuh Martini bergetar menahan tangis, hatinya hancur. Wanita itu kecewa dengan perbuatan sang suami.
“Aku tidak pernah berubah. Inilah diriku yang sebenarnya.” Romli mendekati istrinya, menghapus jarak di antara mereka.
Martini terbelalak menyaksikan perubahan Romli, bulu-bulu halus mulai menutupi tubuh lelaki itu, kukunya memanjang dan berwarna hitam, giginya menjadi runcing dan sebuah ekor menyembul keluar dari dalam celananya. Wujud sang suami kini menyerupai manusia kera.
Martini dengan cepat menepis tangan Romli yang hendak menyentuh bahunya. Dia berlari ketakutan meninggalkan ruangan. Namun, belum sempat Martini mencapai pintu keluar, tiba-tiba ratusan kera bermata merah seperti bara api datang dari segala arah. Mereka mengerubungi Martini, mencabik daging dan mengeluarkan isi perut wanita malang itu.
Tamat.