Ia baru saja pamit dan tangannya sudah memegang gembok pagar saat matanya berkeliaran ke atas dan menemukan seutas bulan sabit bersinar di kanvas biru gelap. Sebuah kunci masih di genggaman saat ia bergumam kemudian, “Kenapa dulu aku lebih suka hujan? Padahal jelas-jelas itu menyakitkan segala yang ditimpa di bawahnya. Hujan sawer, hujan gerimis, hujan rintik-rintik, tidak ada yang lebih baik.”
Ia urung melepaskan gembok dari pagar. Sebelum membalikkan badan ia kembali bergumam, “Bulannya indah. Seperti senyum seseorang.” Kemudian ia kembali ke rumah.
Dilihatnya seorang pria yang melanjutkan tidur di sofa. Pria itu terbangun oleh suara kunci yang dilemparkan ke kumpulannya di dalam sebuah mangkuk kecil.
“Kau tidak jadi pergi?” tanya pria itu.
Ia menggelengkan kepala, “Aku teringat seseorang. Jadi kubatalkan kepergian.”
“Seseorang? Siapa?” Pria itu terpaksa bangun dan kembali menjamu tamunya. “Mau susu hangat?”
“Aku mau seluruh yang ada padamu,” katanya.
Sebaris kalimat membuat waktu berhenti seketika. Pria itu urung mengambil langkah. Terpaku pada tatapan gadis plin-plan yang sudah dikenalnya sejak sekolah dasar.
“Kau selalu meracau saat gugup. Pergilah. Kekasihmu sedang menunggu di stasiun untuk menjemput. Jangan membuatnya marah saat pernikahan kalian tinggal tujuh hari lagi.”
“Aku serius. Aku teringat padamu saat kulihat bulan sabit di langit sana. Ia punya senyum yang selalu sama, seperti senyummu yang tak pernah berubah untukku.”
Waktu rupanya enggan bergerak. Desiran darah mengalir deras di tubuh pria itu, membuat jantungnya terpacu semakin cepat. Pagi yang biasanya dingin tiba-tiba jadi panas. Pria itu kegerahan. Seperti seorang maling yang tertangkap basah, badannya mulai mengeluarkan keringat. Saat ia melihat bulir-bulir itu menetes dari kening pria itu, ia mendekat dan mengelap keringatnya dengan ujung baju lengan panjangnya.
“Lihat! Kau gugup! Apa kau juga mencintaiku?”
Buru-buru pria itu melangkah mundur. Gelagapan mengusap keringatnya sendiri. “Kau tidak seharusnya berkata seperti itu. Pura-pura tidak tahu saja, seperti biasa. Itu lebih baik untuk kita berdua.”
Kemudian pria itu mengambil kunci, berjalan keluar dan berusaha membuka pagar agar ia segera pulang. Pria itu memutar kembali lubang kunci gembok dengan gerakan yang tergesa-gesa. Namun, pria itu salah memasukkan kunci yang cocok untuk lubangnya. Alih-alih gemboknya terbuka, kunci itu malah patah.
“Sekarang aku tidak bisa pulang,” katanya yang sedari tadi memperhatikan.
Segala perasaan berkecamuk di dada pria itu. Masih terlalu pagi untuk memulai pertengkaran, tapi juga terlalu pagi untuk menyatakan cinta. “Lalu kau mau aku berbuat apa? Pengakuan cintamu itu untuk apa? Tidakkah kau sadar kalau kau adalah tunangan seseorang? Tidak sepantasnya kau mengucapkan itu padaku sekarang. Pulanglah. Maka tidak akan ada yang berubah di antara kita.”
Ia mendekat. Tangannya direntangkan siap merangkul pria yang berdiri di dekat pagar. Dengan tatapan teduh dan sebuah usul solusi ia mulai bicara lagi, “Aku akan membatalkan pernikahanku dengan tuan itu dan menikah denganmu. Maka keadilan untuk kita semua.”
Kening berkerut. Sebelum pria itu kembali mengucap, ia sudah lebih dulu mengambil bibir pria itu dengan bibirnya. Tangis mengalir di pipinya. Pria itu meyakinkan diri kalau perbuatannya salah. Namun, pintu pagar masih tertutup rapat. Bulan sabit melengkungkan senyum bahagia. Dan cinta keduanya baru saja dimulai.