Malam begitu cepat turun, jam di dinding berdetak meninggalkan angka tujuh, biru cakrawala masih menyala terkikis hitam malam angkasa sisi lain bumi. Ia mengharap bulan menampakkan diri. Untuk melemparkan rindu, memantulkan asa dari segenap rasa yang terkubur sunyi. Tak ada kicau burung yang bernyanyi di cerah hari. Tiada teriakan anak-anak remaja yang pulang bersepeda saling menjajaki. Tak ada klakson mobil yang menderu dengan dentum lagu berhasrat ingin menyalip dan memburu kebisingan yang lainnya.
Ia merenung dalam kesuraman hatinya. Ia mengaku tak dapat menaklukkan hasrat-hasratnya. Rasa sesal menghimpit, menyulitkannya bernafas. Ia ingin menggapai lamat cahaya, mengubah rencana, memutar arah dan memapas jarak. Di manakah aku? pikir Bhea, tak berdaya. Aku telah kehilangannya, dan segala upaya yang kutempuh untuk menyibak tabir, berita itu, yang dinanti setiap hati. Imannya terguncang. Dadanya bergetar. Airmatanya luruh.
Ia terpaksa menyerah.
Mengakui dirinya lupa, akan segala kenangan yang harus diingatnya, disimpan pada lembaran harian hatinya. Yang terlarik, terpupus, dan tersadur oleh derita dan duka yang merebak di mata-mata para penyimak layar kaca. Mengganti lirik kidung yang mengalun dalam hawa yang keluar kembali dari jantungnya. Seakan menyibak cakrawala kalbu untuk menebus sendu yang menggantung dalam pangkuan alam semesta.
Aku ridho. Aku ridho karena cinta. Karena cinta yang bersemayam di hati para pezikir Asma Allah dan pengingat kebaikan orang lain.