Tulang-tulang Luan terasa rapuh sejak ia menginjak kepala lima, hawa dingin bulan Desember seperti membekukan seukujur tubuh, dan ia takut satu ketukan saja ia remuk seperti kristal gelembung sabun yang dimainkan anak-anak di sekitar rumahnya.
Luan tidak sendirian. Rekan mancingnya yang bernama Phil juga punya aturan tak tertulis, tak akan menyentuh air pada musim dingin. Lalu, apa yang dilakukan dua paruh baya itu di tepi pelabuhan yang suhunya nyaris menyentuh minus nol derajat?
Ikan. Tepatnya sisa ikan dari kapal pesiar orang kaya setiap Sabtu malam. Phil pernah satu kali tak sengaja mengambil ikan di sekitar dermaga. Siapa yang menyangka ia akan menemukan sebuah gelang emas di dalamnya. Memancing kemudian menjadi hobi barunya, utamanya, memancing di sekitar dermaga kapal pesiar.
Sayang, sepertinya orang-orang kaya itu sedang mengalami resesi. Empat minggu berlalu tanpa satu pun pesiar berlayar. Phil setidaknya mendapat seekor kerapu, sedangkan Luan mendapat dua ekor kepiting besar. Jam tangan buram dan retak Luan menunjukkan pukul sebelas malam.
“Sepertinya hari ini cukup dulu.”
“Setengah jam lagi saja,” tawar Phil. Luan hanya bisa mendesah.
“Tidak, istriku akan marah dan sepertinya mulai sekarang akan sulit bagiku menemanimu memancing tiap Sabtu.”
“Baiklah,” pasrah Phil. Sepertinya memang hari ini tidak ada keberuntungan seperti tahun lalu. Mereka berdua mengemasi perlengkapan memancing, melangkah kaku seperti seekor penguin.
Saat sampai di ambang terowongan keluar yang dijaga oleh bohlam temaram, Luan mendengar sesuatu. Seperti benda yang sengaja dijatuhkan ke laut. Mereka berdua menoleh, karena suara itu memang tidak terdengar natural.
“Apa itu?”
“Kau juga mendengarnya, Luan? Bagaimana kalau kita melihat ke sana?”
“Hentikan, Phil. Ini sudah larut. Mungkin hanya pelampung jatuh.”
“Kalau mengapung kita akan memeriksanya, kalau tenggelam kita pulang.”
Luan hanya bisa berdecak tanda tak setuju. Orang tidak membuang sampah di dermaga, mereka membuangnya di hilir atau muara, di antara semak-semak dan pepohonan yang tidak terlihat. Alasan itu yang membuat Luan kuatir. Namun, Phil seperti orang tidak waras berjalan cepat ke arah suara. Gelang emas tahun lalu telah menjadi ambisinya.
Berbekal senter peninggalan sang kakek, Phil mengarahkan sinar ke tepi dermaga. Mereka menyusuri hingga ujung jalan dan menemukan sesuatu. Sebuah tas besar bahan vinil warna hitam, menyatu dengan gelapnya malam yang tak disinari pendaran rembulan.
“Itu hanya sampah, Phil.” Luan menegaskan.
“Siapa tahu ada emas di dalamnya?” Luan mengernyit, otak temannya itu sudah setengah gila.
“Airnya sangat dingin!”
“Tidak apa-apa. Aku akan coba pancing.” Phil mengambil kembali joran dari tas kumuh berbentuk samsak. Ia berusaha memancing tas tersebut yang tentu saja mustahil. Phil kemudian mencari sesuatu yang bisa membantunya mengambil tas tersebut. Beruntung, ada sebuah dayung tergeletak di dinding dermaga. Phil mengambil dayung tersebut dan berusaha meraih mangsanya.
“Bantu aku, Luan!” Tak punya pilihan lain, Luan membantu mengayuh dayung. Tas hitam itu berhasil ditangkap. Phil mengambil pisau lipat, sedangkan Luan berdiri menjaga jarak sambil memperhatikan sekitar.
“Siapa tahu ada gelang emas di dalamnya.”
Plastik terobek, doa Phil terkabul. Tiga gelang emas menyala cerah di dalam gelap beserta sepasang tangan yang tengah dibelenggunya.