Aku tidak tahu pasti seperti apa rona wajahku saat ini. Begitu tirai didepanku terbuka, aku seperti orang terkena gendam, diam dan terpana.
"Gimana?" tanyanya. Aku tak dapat lebih lama lagi membendung senyum.
"Kamu cantik dengan tanda baca titik," kataku, dia hanya tersenyum. Pipinya merona, membuatku semakin yakin Tuhan pasti sedang berbahagia ketika menciptakan dia.
Sebenarnya gaun pengantin yang ia kenakan sangat sederhana. Hanya 'ball gown' putih dengan aksen mutiara di bagian dada. Yang membuatnya istimewa adalah rona wajahnya yang ceria dan bercahaya.
"Aku sengaja milih yang simpel buat resepsi, soalnya udah riweh banget sama siger dan perintilannya pas akad." Lagi-lagi aku tersenyum, seleranya tak pernah berubah dari dulu.
"Kamu mau pakai baju gembel juga tetap cantik Kirana."
"Gombal teroooooss," tukasnya sambil berbalik, kembali menghilang di balik tirai kamar ganti. Aku terkekeh.
Tak berapa lama urusan fitting terakhir gaun pengantin itu selesai. Kami berpindah tempat ke gedung acara pernikahan, Katering, juga rapat dengan beberapa vendor. Tiga hari lagi acara akan berlangsung, Kirana mau semuanya paripurna.
"Menikah itu hanya sekali Le, jadi harus sesempurna mungkin," ucapnya suatu waktu. Aku sepakat, aku pun hanya menginginkan menikah sekali kataku menanggapi. Dia menatapku lama, sorot matanya saat itu tak tertebak. Meski begitu kurasa aku tahu maksudnya.
Gadisku memang luar biasa, semua urusan perintilan pernikahan ia semua yang atur sendiri. Katanya biar puas. Haripun beranjak sore, kami menyudahi perjalanan.
"Le..."
"Hmmm..." Aku menatapnya, tersenyum. Kirana menaikkan sedikit ujung bibir, mengeratkan genggamannya. Lalu bulir bening yang paling kubenci itu pun turun tanpa permisi.
"Na... please..." Aku benci melihatnya menangis. Seolah jutaan jarum dihujamkan tepat ke jantungku, benci rasanya menjadi pihak yang tak berdaya. Aku merengkuhnya dalam pelukan. Memberi ia ruang untuk meluapkan perasaannya, juga kesempatan untukku melakukan hal yang sama.
"Makasih Le, sampai ketemu hari minggu!" Kirana melepaskan pelukannya lalu dengan cepat berlari memasuki rumah, meninggalkanku dengan sisa-sisa kehangatan dari tubuhnya, sendirian.
*****
"Leon?" Seseorang menepuk bahuku dari belakang, sosok yang kukenal dekat, Candra Adiguna. Teman satu almamaterku dan Kirana. Sekarang Minggu dan aku belum tidur dari semalam. Setengah jam sudah aku berdiri di depan masjid megah, tempat acara akad akan dilangsungkan.
"Hei!"
"Lu mau disini aja atau...," tanya Candra ragu-ragu.
"Gak, bentar lagi gue balik," ucapku sambil memijit tengkuk yang terasa pegal. Candra mengangguk.
"Lu gak papa kan Le?" tanyanya lagi. Caranya bertanya seolah aku adalah pesakitan yang sedang menghadapi kematian. Aku merasa lucu sekaligus getir karenanya.
"Not really bad," aku menjawab sekenanya. Candra menghela nafas.
"Anjing emang! taiklah!", Candra misuh aku mengernyit dan meninju pelan lengannya, protes.
"Eh, mulut! Liat-liat tempat kalo mau maki!" Candra menggeleng kuat-kuat terlihat gemas.
"Gak... Gak gitu... Ahh.. Lu juga siih, suka cari masalah! udah tau gak mungkin!"
"Emang lu bisa milih mau jatuh cinta ke siapa?" Candra tergelak, aku mengurut pelipisku seraya beranjak menuju mobil.
"Eh, mau kemana? beneran gak masuk nii?"
"Gak... Nyokap udah nunggu di rumah, mau ke gereja bareng." Pungkasku masuk ke dalam mobil, lalu menghilang di ujung mata Candra. Doaku selalu bersamamu Na, meski dengan cara yang berbeda. Semoga kamu selalu bahagia.