Namanya tercantum dalam daftar calon kepala desa yang baru. Semua hal tentang persiapan kampanye dan lain-lain sudah lengkap. Semua tim sukses pun sudah bertekad akan mendukung dengan sepenuh jiwa raga. Darman dengan tenang menjawab bahwa semua persiapan sudah beres ketika istrinya bertanya. Sebagai seorang konglomerat di desanya, bagi Darman urusan pencalonan sebagai kepala desa ini bukan hal yang berat. Dia yakin betul kalau dia pasti terpilih, apalagi hanya bersaing dengan seorang mantan guru yang dana pensiunnya terkadang tak cukup untuk kebutuhan sebulan. Guru Umar memang pensiunan guru, bukan pengusaha mebel kayu jati seperti Darman yang tak pernah menghitung berapa sisa uang di dompet.
Berhari-hari menjelang pemilihan, nama Darman dan guru Umar menjadi bahan pembicaraan orang-orang di kampung. Beberapa di antara warga Kampung Jawa bahkan menggelar debat terbuka dalam sebuah warung kopi, perihal kecakapan dari kedua calon kepala desa itu. Keduanya dikenal memiliki catatan baik di masyarakatnya. Dalam pandangan masyarakat, Darman adalah pengusaha yang dermawan dan tidak angkuh. Sedang Guru Umar adalah seorang yang sederhana dan bijak. Tidak pernah dia menolak memberi pertolongan kepada tetangga, meski hanya tenaga tua yang bisa diberikan.
Suasana persaingan pilkades semakin memanas. Meski begitu, tak ada satupun kerusuhan yang ditimbulkan dari persaingan itu. Hanya kurang 3 hari sebelum hari pemilihan, ada isu yang beredar tentang Darman. Entah siapa yang pertama membicarakanya, Darman dituduh sebagai cucu dari seorang tokoh PKI di daerahnya. Mendengar hal itu Darman segera mengklarifikasi. Dia mengakui bahwa kakeknya memang seorang aktivis PKI. Namun pengakuanya itu justru mengakibatkan keresahan di masyarakat. Karena itu, Darman memutuskan untuk mundur. Dia tahu betul bahwa kemungkinan kemenanganya sudah tidak mencapai 50%.
Darman penasaran darimana asal rumor tersebut. Siapa yang sebenarnya yang menghembuskan rumor tentang nasabnya. Dia tidak mencurigai bahwa Guru Umar lah yang menyebarkan rumor itu. Darman kenal betul siapa Guru Umar. Guru Umar pula lah yang dulu mengajarinya belajar dan bekerja, karena orangtuanya tak mampu membiayainya untuk bersekolah. Karena mundurnya Darman, pilkades yang sedianya digelar 3 hari lagi terpaksa diundur.
Suatu malam Darman duduk di teras rumahnya. Dia menelepon seorang kawan bisnisnya, “Ayo kita taruhan! 3 hari lagi pilkades kampung Jawa akan digelar. Kita taruhan bagaimana akhir pilkades itu!” Darman menutup teleponya. Dia melanjutkan percakapan itu melalui pesan singkat. Malam itu pula dia menghubungi semua tim suksesnya kemarin, mempersiapkan langkah lanjutan dari rencana yang baru saja terpikirkan. Hari pemilihan tiba. Nama Darman dalam surat suara berubah menjadi Hasyim, seorang pemuda keturunan kyai di kampung Jawa yang tiba-tiba mendaftarkan diri.
Semua orang tersenyum hari itu, termasuk guru Umar dan para pendukungnya. Mereka yakin kalau guru Umar akan terpilih sebagai kepala desa. Pukul 8 pagi pemilihan dimulai, semua berjalan normal, para pemilih pun keluar masuk bilik suara. Hingga pukul 13.00 ternyata tak seorang pun yang hadir sebagai pemilih. Hingga 1 jam kemudian masih tak ada satu pun yang datang. Akhirnya panitia memutuskan untuk menghitung perolehan suara. Di luar dugaan, jumlah suara masuk tidak memenuhi syarat minimal. Alhasil, panitia memutuskan pilkades hari ini tidak sah dan diundur di kemudian hari. Darman tersenyum sinis saat mendengar berita itu, dia merasa menang.