Aku mengabaikan dua laki-laki yang tampak sibuk di dekatku. Bagiku kesibukan mereka tidak sebanding dengan suara-suara yang terus memenuhi gendang telinga, meskipun suara itu hanya milik satu orang, milik Reina, pacarku.
“Kau di mana, Win? Ini minggu ketiga kau menghilang. Benar-benar gila aku menunggumu.”
Aku ingat pesan suaranya di ponselku. Itu kemarahan kesekian sejak aku tak mengangkat telepon darinya.
“Jadi begitu saja ya? Kau menghilang setelah semuanya terjadi? “
Pesan suara itu datang lagi esoknya.
Ada helaan nafas, sebelum suara Reina menggelagar lagi. “Dasar laki-laki gak bertangung-jawab! Bicara aja yang manis, setelah dapat yang manis-manis, kau pergi tanpa kabar. Kalau janji ini itu, nyatanya hanya segitu saja nyalimu?”
Aku tak bisa membela diri, biarlah Reina marah, nanti juga dia akan tahu.
“Kau tahu, Win….” Ada isak yang tertahan. “Aku mengandung anakmu!”
Dadaku kini sesak. Aku memejamkan mata, berusaha bangkit, namun sia-sia.
Kedua laki-laki itu mendekati tempatku. Seseorang melirik temannya yang lain, seakan bertanya. “Ahli waris dan keluarga sudah dihubungikan, Pak?”
Temannya mengangguk tanpa suara. Lalu semua bergerak begitu cepat. Aku dan kedua laki-laki ini melaju dengan mobil jenazah, sementara kulihat keluargaku mengikuti dengan mobil lain di belakang kami. Samar-samar aku melihat Reina di antara mereka.
Hem, akhirnya, kau tahu juga'kan, Reina Sayang? Aku bukan menghilang. Tiga pekan lebih aku berjuang melawan virus ini.
Aku kalah!