Terduduk di sudut kamar menyandarkan diri pada sahabat yang selalu ada di sana. Sambil sedikit geli, aku berpikir tentang gagasan dari sebuah tema cerita malam itu. "Manusia -manusia berandal sebenarnya". Itulah yang mencetus di dalam pikiran ku.
"Hay kawan ... Dengarkan apa yang akan ku katakan. Bisa jadi ini akan membuat mu tertawa, dan atau bahkan kebingungan" jelas ku pada sahabat ku yang hanya diam.
"Kau tahu tentang penampilan seorang berandal?" tanya ku tanpa jawaban dari sahabat ku.
"Iya ... benar apa yang kau pikirkan sobat. Seorang berandal selalu berpenampilan cukup menyeramkan. Over dalam tindik, lusuh dalam penampilan. Dan iya ... ucapan mereka juga terkadang kasar" jelas ku tanpa respon apapun.
"Tapi apa kau tahu? baru -baru ini aku bertemu seorang berandalan yang sangat jauh berbeda" sambungku menjelaskan.
"Dia tidak seperti berandalan pada umum nya. Dia adalah berandalan yang terlahir dari kalangan elit" jelas ku yang lagi -lagi tanpa jawaban maupun respon.
"Singkat saja. Mereka adalah berandalan yang terdidik, terlatih, dan terkejam di antara berandalan lain. Kau mau tahu?!" ujar ku tersenyum tipis.
"Mereka merupakan orang yang jadikan dirinya hakim atas kehidupan orang lain. Mereka adalah orang yang menjunjung tinggi pengalaman. Dan mereka ... Mereka adalah orang yang tak segan menciptakan perbandingan hidup" tegas ku terseret oleh suasana sedikit mencekam.
"Kau tahu kenapa mereka ku sebut sebagai berandal? Iya ... karena mereka melupakan tuhan nya sendiri. MEREKA LUPA AKAN TUHAN YANG TENTUKAN SEMUA KEHIDUPAN. MEREKA LUPA KALAU TUHAN YANG MEMBUAT MEREKA BERPENGALAMAN. MEREKA LUPA KALAU HIDUP MEREKA TAK PATUT DI BANDINGKAN. Dan mereka juga lupa, kehidupan manusia telah di tentukan sebelum terlahir" tegas ku.
"Mereka harusnya sadar. Setiap manusia mempunyai ruang tersendiri. Tiap manusia mempunyai cara nya tersendiri memilih dan atau menjalani kehidupan. Dan setiap manusia, mempunyai kisah yang tak bisa di sama kan atau di bandingkan" sayu aku bercerita.
"Toleransi perlahan punah antar manusia. Empati, kini sedikit buram di pandangan manusia. Simpati, bahkan hanya sebagai ajang gengsi" serius ku bertutur kata.
"Sobat ... Berandalan masa kini bukan lagi bermodal kata kasar. Bukan lagi seseorang yang binal. Tapi dia, yang bertutur seakan tahu moral tapi menyerang mental" lirih ku menatap dinding yang jadi sandaran diri kala dunia terasa menggila.
"Sobat ... aku tak perlu pendapat mu. Aku tak perlu dukungan mu. Karena aku cuma bercerita. Bukan membagi sama rata derita. Selagi kau bersedia ada, rasa senang akan tetap ada meski kau tak bersuara" lirih ku membelai wajah rata sahabat ku.