Jam sembilan pagi. Ada yang terasa kurang pagi ini. Kemana pengantar koran kami? Apa ia lupa melemparkan korannya ke sini? Apa ia sudah bosan menjalani rute yang sama setiap pagi dan melemparkan teman baikku ke pintu-pintu rumah kompleks ini?
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kehadirannya tak pernah kusadari dan kepergiannya tak membuatku rindu.
Ah, kutunggu sebentar lagi, mungkin ia bangun kesiangan. Bukankah dini hari tadi ada pertandingan besar Liga Inggris. Kurasa ia tak mungkin melewatkannya karena ia selalu memakai kostum bola.
Aku masih mondar mandir di depan pagar meski roti bakar dan secangkir kopi hangat telah menunggu. Semoga saja mereka mengerti masih ada teman baik yang harus ditunggu. Kita tak boleh melewatkan pagi tanpa teman kita yang satu itu.
Dia pembawa berita yang ramah, aku boleh memilih berita mana yang ingin kubaca lebih dulu atau berita mana yang tak ingin kubaca. Tidak seegois televisi yang seenaknya mengurutkan berita meski sudah terlalu sering didengungkan, atau gadget, pembawa berita lain yang multifungsi, tapi diam-diam suka membuat mata dan hatiku sakit.
Jam setengah sebelas. Aku menyerah. Kubawa kopi dan roti yang kaku ke ruang tengah lalu menghidupkan televisi. Di layar muncul presenter acara gosip dengan senyum liciknya menatap tajam ke arahku.