Air sungai yang dingin nan jernih itu memercik ke segala arah saat ikan sebesar kepalan tangan menggelepar di ujung tali pancing. Kakak beradik berdiri tepat di tepi sungai, memandang ikan itu dengan tatapan yang berbeda satu sama lain. Sang Kakak yang seorang laki-laki terlihat semringah, sedangkan Adik perempuannya tampak gusar.
“Kau menyakitinya,” seru sang Adik, “cepat lepaskan!”
“Tidak apa-apa, ini hanya ikan,” jawab sang Kakak.
Gadis itu tertegun mendengar ucapan kakaknya. ‘Hanya ikan’. Itu sama saja seperti mengatakan ‘Hanya genangan air’ untuk sebuah lautan luas, atau ‘Hanya seorang pria yang sudah dewasa’ untuk seorang Ayah.
Ia memandangi ikan berwarna keemasan yang semakin kehabisan napas itu. Menurutnya, nyawa tetaplah sebuah nyawa. Sekecil apapun itu, pastilah sangat berharga bagi siapa pun yang memilikinya. Saat sebuah nyawa meninggalkan tubuh, pasti akan ada rasa kehilangan, kesedihan, dan kepiluan.
Percaya atau tidak, semua itu sangat tidak enak rasanya. Gadis kecil itu kembali memandangi sang kakak yang tengah sibuk membereskan peralatan memancingnya kedalam sebuah kotak. Menenteng ikan hasil tangkapan dengan perasaan bangga.
“Ayo kita pulang!” ajaknya, seraya membimbing lengan sang Adik.
Gadis kecil itu menoleh, menatap sungai yang mengalir tenang di belakang. Matanya yang kecokelatan terlihat berkaca-kaca. Ia hanya berharap, Ibu ikan dan anak-anaknya bisa setegar dirinya dan Kakaknya saat mengetahui bahwa, Ayah mereka tidak akan pernah pulang untuk makan malam lagi.