“Mau ngomong apa sih?”
Empat kata, meluncur santai dari mulutmu.
Tubuhku langsung dingin. Di perjalanan tadi, aku memang kehujanan. Tapi, kurasa bukan itu penyebabnya.
“Hmm, gini…,”Aku memulai. “Pertama, jangan marah ya kalo nggak suka sama apa yang gua omongin.”
Keningmu mengerut. Sorotmu penuh tanya.
“Kedua, kalo nggak mau, nggak apa. Anggap aja omongan ini nggak pernah ada.”
Mukaku mendadak panas. Sekarang atau tidak selamanya. Meskipun aku tahu setelah ini, rasa panas yang sudah sampai leher akan merembet sampai ujung kaki. Seperti satu kampung yang kebakaran karena satu pemicu absurd. KORSLET.
“Gua, suka sama lu.”
Empat kata dariku, meluncur gemetar lalu tersuruk mengenaskan.
Tawamu sontak meledak hingga tubuhmu menandak nandak. Tersedak sedak kau terbahak, persis orang kesurupan.
Aku tertunduk menyesal. Seharusnya, semua ini terjadi di malam minggu, di sebuah café mahal, dalam temaram cahaya lilin dan alunan musik jazz. Kau dengan gaun malam favoritmu dan aku dengan setelan jas terbaikku. Hanya kita berdua, dilatari gemerlap lampu kota.
Semua ini malah terjadi di malam jumat, dalam keramaian foodcourt mall yang disaput benderang fluorescent. Musik aneka genre bermain di latar, campur aduk dengan pengumuman anak hilang dan info midnight sale. Kau dalam balutan t-shirt belel favoritmu, sedangkan aku dalam setelan kantor yang kuyup diguyur hujan. Dan jelas kita tidak hanya berdua. Serombongan teman yang kau bawa, kini berkerumun berisik dua meja jauhnya, membahas bisnis berprospek yang sedang kalian rintis.
“Ya, gimana ya,” Kau buka suara.
Aku membeku, menunggu vonis.
“Masalahnya, gua biasa aja.”
Empat kata darimu. Singkat, padat, menghantam.
Kobaran di sekujur tubuhku, langsung padam. Aku buang pandang. Satu menit penuh kita terdiam, salah tingkah.
“Yah," Aku memecah keheningan,"yang penting sekarang, gua udah tau jawabannya.”
Lagi-lagi, kau mengikik geli, entah apa yang lucu di sini.
“Kita,...masih temen kan?”tanyaku tanpa semangat.
“Ya, iya lah!” Kau tergelak.
Aku memaksa diri ikut tertawa, meski hatiku nelangsa.
“Btw, pernah denger MLM?” Kau bertanya, mendadak sibuk merogoh tas. Sebuah komputer tablet keluar dari sana, disusul tak lama kemudian oleh slide presentasi digital yang mengalir lancar di layar. Berapi-api kau menjelaskan, sementara aku hanya setengah mendengarkan.
"Gimana? Menarik kan bisnisnya?" Matamu berbinar.
"Ya, gimana ya," Bibirku melengkung.
Kau membeku, menunggu vonis.
"Kayaknya, biasa aja tuh."
Empat kata dariku. Singkat, padat, menghantam.
Binar di matamu langsung padam.