Aku terkejut mendapatinya berdiri di balik daun pintu, setelah salamnya kujawab.
"Umi Atun?"
Dia langsung menyalami punggung tanganku lantas mencium beberapa detik. Delapan belas tahun silam, rumah petak ini sangat ramai dikerubungi bocah, kursi jati di ruang tamu terpaksa diletakkan ke teras setiap sore agar muat menampung anak-anak muridku belajar ngaji.
Theresia paling unggul di antara tiga puluh teman ngajinya.
"Umi, aku duluan ya yang hafalan!"
Gadis cilik bermata belo tak henti menatap plafon, suara melengkingnya fasih murojaah surat An-Naba'.
"Umi, gimana kabarnya? Tempat ini masih sama ya mi."
"Alhamdulillah, Nak, Baik."
Theresia kubiarkan sejenak bernostalgia memandang frame foto lawas dekat bufet. Kampung Melinting dikenal sebagai kampung santri, tetapi semua konten yang Theresia buat seolah dia tidak pernah lahir dan besar di sini.
Kini karir selebgramnya tercoreng, Theresia menerima ribuan caci maki, banyak televisi yang memblacklistnya dari beragam acara, belum lagi pihak-pihak yang melaporkannya atas dugaan ujaran kebencian.
"Diminum, Nak!" Suguhan teh hijau hangat kubawa dari dapur.
Wanita muda dengan kain kerudung yang di selempang ke bahu itu menoleh. Kesedihan membungkus wajah yang semula ceria. Air matanya berjatuhan seperti daun jati tertiup angin muson timur.
"Ada yang bisa Umi bantu, Nak?"
Sebuah simpul senyum kembali muncul di antara kedua pipi yang basah, dia memberikan foto monochrome ukuran lima kali tujuh.
"Kita shalat bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk bersyukur, mendoakan orang tua, dan menjaga keberkahan umur"
Warga kampung sini kenal mendiang Ustadzah Sisri dengan baik, aku juga mengenal gaya tulisan latin di belakang foto ini.
"Umi, maukah Umi mengajari saya shalat lagi? "
Suara parau Theresia bagaikan hujan deras yang membuat semua anak-anak muridku berteriak kegirangan.
"Tentu, Nak. Umi pasti akan mengajarimu!" Aku mengusap pipinya. Ustadzah Sisri, Theresia kecilmu telah kembali.