Juga, soal menahan dorongan tadi, aku pun sudah melakukannya. Hanya saja, setelah sebulan kembali ke dunia ini, dunia yang seharusnya dulu kusukai ini, semua terasa semakin memuakkan saja. Semua yang kulihat, kudengar, dan kurasakan, memang mengisi, akan tetapi tidak menjadi isi yang baik di dalam diri. Aku jadi merasa seperti kue sus namun dengan isian natto, dan itu menjijikkan. Aku tidak mau itu. Aku ingin memuntahkan isian itu, tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk membuka plastik pembungkusku. Juga, tidak ada yang mau. Aku muak, dan karenanya ....
“Karena hidupmu bukan lagi milikmu seorang, maka kau tak perlu menanggung masalah sendirian.”
Celetukannya itu menarikku dari duniaku sendiri. Mataku seketika terbuka, terasa agak panas, entah karena terpejam terlalu intens dan lama, atau karena sempat ada emosi yang meluap saja. Saat itu aku sadar, apa yang dilakukannya pada tanganku bukan sesuatu yang patut ditakuti. Karena itu cuma sekadar gambar kupu-kupu berwarna merah muda. Si siswi berkacamata ini hanya menggambar di tanganku.
“Butterfly Project! Biarkan kupu-kupu itu hinggap di tangan, hingga ia terbang dengan sendirinya membawa sebagian masalahmu. Kau tidak boleh mengusir atau melukainya, tapi jelas, kau boleh menambah jumlahnya, kala dorongan menyakitkan itu kembali terasa.”
Sekali lagi, genggaman pada tanganku dilepas. Sejenak aku terpaku pada gambar di tanganku, tetapi langsung teralihkan oleh sunggingan bibir si Fujiwara di hadapan yang lebih lebar dari sebelumnya. Wajah yang bercahaya, memberi tanda bahwa dirinya baik dan semua akan baik-baik saja selama dirinya ada.
“Bila ada sesuatu masalah untuk dibicarakan, aku yakin Kreator akan mendengarkanmu, Shiki-san. Atau kalau terpaksa, kau bisa menjangkauku dengan panggilan telepon,” imbuhnya, masih dengan senyuman yang sama, sembari memasukkan spidol ke dalam tas. “Bicara soal Kreator, bukankah dirimu memiliki sesi review karyanya sebagai pengalih dari masalah?”
Ketika ia menanyakan itu, aku akhirnya dapat berkata-kata. “Akhir-akhir ini ... tidak ada,” jawabku lirih.
“Aah~ Pada akhirnya, writer’s block menghadang dirinya, ya. Itu dapat dipahami, dan pula sedikit menjelaskan sebab situasi ini.”
Setelahnya, Fujiwara menggantungkan kembali tas di pundak. Menekankan setiap pesannya tadi sekali lagi, lalu berpamitan pergi, keluar dari toilet. Dirinya yang tiba-tiba datang, lalu tiba-tiba pergi. Melakukan hal yang mengejutkan, tapi pada akhirnya hanya sebuah bukti ‘kepedulian’. Aku tahu bagaimana harus merespon tindakannya itu, tapi sekadar tahu saja tidak cukup. Sebab, di dasar hati ini, aku masih menyimpan ketakutan pada sosoknya. Ia yang bisa berubah rasa dalam waktu singkat, masih membuatku merinding juga.
Aku pulang, dan aku masih hidup tanpa luka—mengecualikan goresan di hatiku yang tak akan pernah hilang. Setelah kuselidiki, gambar kupu-kupu tadi rupanya persis seperti luka hati, tidak mau hilang juga. Saat mandi, mau berapa kali tangan kiri kuusap dan kubasuh dengan air sabun, tidak mau hilang.
Terpikirkan akhirnya, kalau maksud gambar ini tak seperti yang dikatakan Fujiwara. Bukan kupu-kupu yang nanti akan terbang membawa masalahku, melainkan, sebuah segel penanda kalau hidupku yang sekarang ini adalah milik seseorang. Ini berarti .... Bukankah ini berarti sebuah kutukan?