Tahun 2020, Bulan Dua.
Sekolah ini berat. Setiap kata yang kudengar di dalamnya, setiap orang yang kujumpa, dan setiap udara yang kuhirup, semua terasa melelahkan indera. Senantiasa aku menutup telinga, mengalihkan muka, dan jadi sesak olehnya.
Aku tahu, ini memalukan. Aku sendiri yang sudah memutuskan untuk menginjakkan kaki kembali ke sini. Kendati itu juga karena ajakan seseorang, aku sendiri yang memutuskan. Akan tetapi, selama sebulan memulai kembali, yang kudapati hanya perasaan penuh nan memuakkan.
Tidak ada yang bicara padaku, maupun sebaliknya. Itu terlalu menakutkan. Tebakku, memulai sesuatu di masa ini memang selalu menakutkan, apalagi jika dirimu sudah tertinggal beberapa bulan.
Sensei pun hampir tak ada yang kuingat namanya. Aku tak mungkin bisa fokus pada mereka. Alhasil, berbagai hal yang mereka sampaikan saat pelajaran hanya berakhir seperti gumpalan lemak daging yang dipaksakan masuk ke perut dan tak bisa dicerna. Itu membuat mual.
Ketika bel pulang berdering, aku kabur. Selagi manusia lain berhamburan, dengan basa-basi, wacana, dan gelak tawa canda mereka, aku menyelinap menuju toilet terjauh, tertutup. Berdiri di hadapan wastafel, jaga-jaga apabila aku hendak muntah nantinya.
Sudah pasti aku merasakan mual ini. Sudah jelas aku merasakan tubuh ini penuh akan sesuatu yang memuakkan dan menjijikkan. Hanya saja, aku tak bisa mengeluarkan mereka semua. Tidak bisa. Badan ini seperti dilapisi semacam zat yang kedap. Aku tidak menyukainya.
Kucoba membasuh muka. Berharap zat itu dapat meleleh dengan sendirinya seperti kapsul obat yang kadang kuminum beberapa waktu lalu. Tapi tidak bisa. Aku tidak mendapatkan rasa segar dan terbuka yang seharusnya.
Air yang mengalir dari keran kusauk berkali-kali, kulempar ke muka berkali-kali, sampai rambut yang menutupi dahi dan telingaku basah semua. Lengan seragam yang kugulung pun juga sama. Sampai sebegitunya, perasaan mengganggu tadi tak kunjung sirna.
Saat itu, aku melihatnya. Sesuatu yang tergeletak di sudut wastafel. Aku tidak tahu kenapa ada di sana dan siapa yang meninggalkannya, tapi tanganku meraihnya begitu saja. Itu adalah sebuah cutter.
Bilah yang kudorong keluar tampak basah dan mengkilap. Aku tahu seberapa tajamnya benda itu, dan dengan itu, mungkin saja, aku bisa bebas dari perasaan ini. Aku hanya perlu membuat sayatan kecil di tangan—di tangan, bukan pergelangannya—untuk membuat jalan bagi udara. Membuka gerbang supaya segala hal memualkan tadi dapat mengalir seperti nanah pada koreng.
Hanya ... satu sayatan kecil saja. Satu sentuhan kecil dari ujung logam tipis di tangan kiri dan itu saja. Tidak perlu khawatir soal rasa sakit yang mungkin akan menyertai. Ini akan seperti suntikan vaksin saat kecil dulu. Lagipula, rasa sakit yang lebih gila, aku sudah pernah merasakannya di seluruh tubuh sebelumnya. Kalau cuma ini ....
“Shiki-san!” Suara itu tiba-tiba terdengar. Di saat yang sama, seseorang meraih tanganku yang memegang cutter. Di situ baru aku benar-benar sadar, kalau aku mengarahkan benda tajam itu ke lengan kiriku.
Oleh genggaman yang amat kuat itu, tangan kananku diangkat ke atas. Aku cuma bisa meringis sakit, mengikuti keterkejutan. Ketika mata kembali kubuka, sosok itu tampak perlahan-lahan makin jelas.
“Sungguh, tampaknya tanganmu harus selalu digenggam orang lain, ya.”