Krucuk … krucuk ….
Hasan menoleh, “hehe,” tawanya seperti tak ada beban.
Bagas yang mendengar dengan jelas panggilan alami itu langsung menoleh ke arah Hasan. Ia menggeser tempat duduknya mendekati Hasan dan mencondongkan kepalanya ke telinga Hasan. “Kamu lapar?” tanya Bagas dengan suara yang sangat lirih. “Aku juga,” lanjutnya dengan nada lemas.
Hasan mengangguk.
“Tapi masih jam 10, kurang dua jam lagi buat makan siang,” tambah Bagas—masih dengan suara yang sangat pelan.
“Kenapa kalian?” tanya Tari, senior Hasan dan Bagas.
Bagas memperbaiki posisi duduknya. “Enggak kenapa-kenapa Mbak,” jawab Hasan dengan badan tegap sembari tersenyum.
“Kok lemes banget?” tanya Tari sembari mendekatkan wajahnya ke depan laptop Hasan, lalu melirik ke arah Hasan.
“Lapar dia mbak,” sahut Bagas.
“Emang kamu enggak sarapan?” tanya Tari.
Hasan menggelengkan kepalanya. “Tadi keburu mbak, kan mbak bilang suruh datang pagi. Aku enggak sempet beli makan, bangun juga kesiangan.”
“Ya, elah. Suruh siapa bangun kesiangan,” jawab Tari sembari berjalan ke arah Bagas dan melihat layar laptop Bagas.
Emang Mbak Tari bangun jam berapa? Gerutu Hasan dalam hati sembari memanyunkan bibir tipisnya.
“Aku juga lapar, tapi aku enggak bisa kasih dispensasi buat kalian keluar beli makan. Belum waktunya. Nanti aku kena kartu kuning.” Tari berjalan ke arah meja kerjanya. “Oh ya, Hasan detail bahan dan harganya bisa dikirim ke aku sekarang ya. Biar aku cek. Kalau sudah ….”
“Sudah mbak yang itu,” jawab Hasan kembali bersemangat. “ON THE WAY.”
“Alah keminggris,” sahut Bagas.
“Bagas! Bahan buat presentasinya udah belum? Foto-foto di lapangan dan di tempat proses produksi juga.”
“Hehe, ini lagi ngumpulin data mbak,” jawab Bagas.
“Oke, kalau sudah selesai segera email ke aku ya!”
“Siap! Laksanakan!” jawab Bagas.
Tari berjalan ke arah pintu masuk.
Bagas mendekati Hasan dan berbisik, “Mau kemana Bu Bos?”
Hasan menggeleng.
“Makasih Pak,” ucap Tari.
Tari berjalan ke meja kerjanya.
“Kalian lapar kan?” tanya Tari.
“Iya mbak,” jawab Bagas dan Hasan serempak.
“Ini buat kalian!” Tari membuka kotak kue tart berbalut coklat berhiaskan strowberi di lapisan atasnya.
“Wah, aku dapat Bronis!” teriak Bagas.
“Brownis Orasa1 Bayar,” tambah Hasan.
“HAHA,” tawa ketiganya.
“Dari siapa mbak?” kepo2 Bagas.
“Dari yang nyuruh kalian berangkat pagi karena takut kuenya enggak ada yang makan,” jawab Tari sembari tersenyum. “Ngomong-ngomong ini bukan Brownies ya!” Tangan Tari mencolek sedikit coklat yang ada di pirnggiran kardus, lalu mencicipinya. “Tapi betul sekali, Ora usah3 bayar!”
Keterangan:
1 Orasa: kepanjangan dari “Ora Usah” yang berarti “tidak perlu” (Bahasa Jawa)
2 Kepo: akronim dari bahasa inggris “Knowing Every Partcular Object” yang memiliki arti serba ingin tahu.
3 Ora usah: tidak perlu (Bahasa Jawa)