Joni membuka pintu toko baju. Ia melihat situasi toko masih sepi. Pengawai lain masih terlelap tidur. Ia tidak menyangka padahal sudah jam delapan pagi. Iya pada akhirnya mengerti kalau jam delapan di Bali adalah masih pagi. Namun ia tetap bekerja seperti biasa. Merapikan lemari dan gantungan. Memeriksa kondisi baju di lemari display. Lanjut mengepel lantai toko sebelum bos dan pengawai lain pada datang. Setelah itu ia bersantai sejenak dengan menyeruput secangkir kopi hitam serta menghisap sebatang rokok kretek lokal.
Melihat hal ini membuat sang atasan mengajak makan siang bersama Joni. Sebenarnya hati Joni bertutur untuk menolak ajakan itu. Soalnya Joni takut membuat hubungannya dengan pengawai lain menjadi bagaimana. Sialnya Joni membatah ujuran hatinya itu dan memberanikan dirinya menemui sang atasan. Mereka makan siang di sebuah warung makan lokal. Bukan tempat mewah apalagi teman minum chill ala turis. Sang atasan langsung menembak Joni dengan satu pertanyaan jitu. Kamu ada ide untuk meningkatkan penjualan produk kita tidak? Joni menelan ludah dan seketika otaknya berputar-putar dengan kecepatan maksimal. Ternyata Joni menemukan sebuah analisa gembel, tetapi masuk akal untuk dilakukan. Membuka toko online di semua platform e-commerce.
Ternyata usulan Joni langsung disetujui oleh sang atasan. Joni merasa senang dan pelan-pelan mencintai pekerjaan di toko baju ini. Dan hal baik mulai mendatanginya. Beberapa pengawai senior jadi salut dengan Joni. Soalnya ketika penjualan baju meningkat tajam maka secara otomatis bonus pun melompat tinggi. Setiap siang Joni tidak pernah makan di warung pinggir jalan. Joni mulai tahu cafe terkenal di sekitar wilayahnya. Lalu salah seorang pengawai seniornya bahkan menaikan jabatannya. Joni sudah tidak menjabat menjadi pengawai biasa. Ia ditugaskan sebagai kepala pemasaran di sosial media. Joni senang bukan main. Kini hari-hari Joni berubah sibuk dan wajib meeting dengan orang-orang di luar kantornya. Waktu menjadi sempit, tetapi ada satu kejadian yang menyadarkan Joni. Ria mengajak Joni berdiskusi dalam.
Pembicaraan mereka berujung alot. Ria memaksa Joni untuk cabut dari tempatnya bekerja. Joni bersikeras bahwa Ria tidak berhak menentukan akhir hidupnya. Walau begitu Ria tidak patah arang. Ia mengancam Joni untuk angkat kaki jika tidak menuruti kemauannya itu. Joni mengebrak meja dan berjanji akan pergi pada esok hari. Ria menghela nafas amat panjang. Ia lalu bertutur lembut. Kamu ditakdirkan menjadi kepala bukan menjadi ekor. Joni terhentak oleh ucapan itu. Ia agak bingung mencerna ucapan Ria itu. Ia lalu melangkah pergi ke pantai di kala sinar rembulan tampil sempurna. Tak lama angin malam menyambut tubuh ringkih Joni. Mulutnya tidak bertutur apapun. Jiwanya merasa ringan. Tenaganya merasa penuh. Namun ia bingung langkah apa yang harus dilakukan selajutnya. Apa benar ia mampu menjadi kepala? Kalaupun ia benar-benar dilahirkan sebagai kepala maka bagaimana caranya untuk mengurus bagian tubuh yang lain?
Ria berjalan mendekati Joni yang tengah berdiri goyah. Ia lalu menepuk pundaknya pelan-pelan. Joni berpaling menoleh kepada Ria dengan tatapan sayu. Dengan melankoli rasa lantas Ria memeluk Joni lekat-lekat. Apa yang kamu dapat hari ini, jangan membuka kamu goyah? Ingat kamu dilahirkan untuk menjadi kepala bukan ekor. Kalaupun kamu meragu tidak masalah. Asal kamu jangan lupa siapa kamu?