Tidak ada kebetulan dalam hidup ini. Daun yang jatuh berguguran pun bukan kebetulan, tapi ia sedang mengikuti waktu yang telah ditetapkan bagi dirinya sendiri-tak bisa memilih, apalagi menolak. Jadi, disebut kebetulan karena tidak tahu kapan waktunya. Sebenarnya, yang ada itu KETEPATAN-tepat waktunya!
Aku harus bertemu dengannya hari ini. Menunda tidak akan mengubah keputusan-nya, toh aku sudah siap menanggung konsekuensi yang terburuk sekali pun. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5.20 pagi.
"Hmm, masih ada waktu dua jam lagi." Aku melangkah ke kamar mandi.
-0-
Tiga hari yang lalu, dia marah padaku karena hal yang sepele: telat menjemput ke kampusnya. Memang telatnya hampir 1 jam, tapi masa bisa sampai semarah itu sih? Kata-kata terlontar bertubi-tubi lalu dia mendiamkan-ku. Semua bicaraku diabaikannya seperi orang yang mendadak tuli dan bisu.
Aku memang bersalah! Entah kenapa pula bisa lupa menjemputnya-satu jam lebih cepat dari jadwal rutin yang biasanya. Itulah karena terlalu asyik memikirkan langkah bidak di papan catur bersama Kino di kafe Espresso sana.
"Lebih penting catur-mu dari aku? hebat!" ujarnya sinis sambil melengos.
"Bukan, tapi memang benar-benar lupa, Sie. Maafkan-lah."
"Maaf? enggak tahu malu! Aku sudah tahu hatimu yang sebenarnya."
Lalu dia diam seribu bahasa. Kukira hanya saat itu saja, ternyata sampai berhari-hari!
-0-
Pukul 7.05 aku sudah bersiap-siap hendak ke rumahnya. Saat sedang 'memanaskan' sepeda motor di luar gerbang kos-kosan, tiba-tiba Sie nongol dari arah yang berlawanan-seperti disulap!
"Lo, dari mana mau ke mana, Sie?"
Dia diam, melirik pun tidak. Aku menyusul langkah santainya.
"Jawab dong, Sie," bujukku yang terpikir untuk meraih lengannya yang terayun. Dia masih seperti tadi, membuatku mulai habis kesabaran.
"Baiklah, kita selesai hari ini. Aku takkan meminta lagi, Sie!" Segera aku berpatah balik ke rumah.
"Enak aja. Kamu kira segampang itu?" Baru dia bicara sembari mengejarku, "Pri, berhenti."
Aku sampai di teras setelah 'mematikan' sepeda motor.
"Sadar enggak, kesalahanmu sebesar apa?" Dia menarik rada kasar.
"Ya, ampun! ternyata begini asli-nya dirimu?" Aku menatapnya sambil menahan emosi, "sebesar apa pun udah enggak ngaruh. Kita sudah selesai."
"Kamu yang salah, kok aku yang jadi korban?"
"Bukan urusanku. Untung aku belum pergi ke rumahmu, jadi enggak repot menyampaikannya. Mulai besok, aku enggak ke rumahmu lagi."
"Kamu jahat, Pri-"
"Biarin. Tersenyumlah karena esok udah datang." Aku menuju ke sepeda motor sambil membawa helm.
"Priii!!"
Aku terus pergi-tak menghiraukannya. Di ujung jalan aku berbelok ke kanan lalu tancap gas menuju ke pelabuhan. Aku mau melihat laut!
-0-
Tak sampai 10 menit, aku tiba di dermaga. Kupandangi laut sambil tertegun. Sie yang cantik ternyata seangkuh itu-memaafkan kesalahanku pun dia tak mau. Dikiranya aku akan terus membujuknya sampai mengemis? Dikiranya aku takut meninggalkannya karena baru dua minggu jadian? No way! Kalau karena telat menjemputnya saja aku didiamkannya seperti itu, bagaimana lagi kalau nanti aku tidak mengikuti kemauannya?
Aku mulai tenang dibuai semilir angin di dermaga ini dan mengenang kejadian yang tadi. Syukurlah Sie kebetulan lewat sebelum aku pergi, sehingga aku yang mengambil keputusan-bukan dia. Kebetulan? Kayaknya enggak deh! Itu Ketepatan!
--000--