Saat itu pertengahan bulan Juli. Malam hari. Terasa panas hingga kaos tipis yang kukenakan lepek dan menempel di kulit.
Aku menunggu kedatangan truk pengangkut pasir yang biasanya lalu-lalang kala malam harimelewati jalan ini. Aku berniat menumpang hingga ke kota terdekat. Dari sana aku akan naik bis untuk pulang. Saat ini aku berada di sebuah desa. Menjalankan kuliah kerja lapangan yang jujur saja bukan menjadi favoritku.
Walau mengambil jurusan pertanian di sebuah kampus ternama di Bogor, aku merasa keahlian para petani di desa ini melampauiku. Intinya, aku tidak merasa membantu siapa-siapa. Malah aku merasa, keberadaanku di sini hanya menjadi beban.
Andaikan teman-temanku cukup sensitif, mereka pasti akan ikut denganku. Tapi sayangnya tidak ada yang mendengarku.
Aku mendesah. Kesal. Seraya menghapus peluh di keningku.
Kenapa desa ini sangat panas?
Apa karena lokasinya yang dekat gunung bertapi aktif?
Atau karena ....
Jantungku terasa copot saat mendengar suara.
Sambil menyalakan senter yang selalu kusimpan di kantung celana, aku menyorot sekitar. Tidak ada apa-apa selain ilalang dan pohon-pohon tua yang telah mati.
Menelan ludah aku berusaha mengingat apa yang dikatakan para penduduk desa yang berusaha mencegah kepulangan.
Dikatakan, ada hantu yang berkeliaran di sepanjang jalan ini kala hari mulai gelap. Hantu itu konon selalu mengganggu para penumpang kendaraan yang lewat.
Hantu itu seorang pria berpostur kurus-tinggi. Mengenakan jins dan kaos putih yang berlumuran darah. Konon yang paling menyeramkan adalah kepalanya yang pecah hingga menampakkan otaknya yang separuh hancur.
Aku bergidik. Cerita itu awalnya terdengar konyol, tapi kala kau sendirian di jalan yang gelap dan sepi, maka cerita semacam itu akan mengena dalam batin dan pikiranmu.
Cepatlah datang, gumamku tidak sabar.
Ingin rasanya melonjak gembira saat melihat dua buah lampu besar mendekat. lampu itu berasal dari sebuah truk tua berwarna gelap.
Aku pun melangkah ke tepi jalan. Melambaikan tangan. Agar pengendara truk itu berhenti untuk mengangkutku ke kota terdekat.
Namun, aku diam mematung. Keringat dinginku bercucuran saat melihat sosok yang ada di depanku. Sosok itu berjalan mendekat berusaha menggapaiku dengan jeamari tangannya yang tertutup darah yang telah mengental dan berbau amis dan busuk.
*****
"Apa-apaan tuh anak?" Si pengendara truk membelalakkan mata, saat melihat pemuda yang semula berniat menumpang lari terbirit-birit menuju desa yang terletak di balik padang ilalang. "Sial! Hilang sudah hiburanku malam ini."
Menggelengkan kepala. Mendengus kesal. Si pengendara truk kembali memusatkan perhatiannya ke depan.
Semoga saja aku menemukan orang lain untuk kutabrak dengan trukku.
Tangannya mencengkram kemudi dengan gemas.
TAMAT