Sudah ku katakan sejak awan bergumul lalu berselingkuh dengan angin bahwa telah kutinggal kan hatiku di atas meja dalam ruang-ruang kehampaan. Sengaja tidak kubuang hatiku di jalan begitu saja, berharap jika kau rindu bisa kau masukan sekeping hati itu pada saku celana mu.
Masa itu, di cafe dekat stasiun bawah tanah aku bercerita tentang bagaimana aku melewati lembah kesengsaraan menuruni bukit kekecewaan hingga pada akhirnya aku menemukan telaga kasih sayang. Meski sebenarnya kisah itu sengaja aku karang sendiri dengan sedikit dilebih-lebihkan. Yah, namanya juga menarik simpati.
Seperti burung merak mengepakan ekornya menarik sang jantan.
Sebetulnya aku dungu perihal aksara cinta. Apa pula cinta itu. Aku kira sesederhana ketika aku menjumpai mu yang aku tafsirkan kau adalah telaga ku, namun rupanya cinta tak sesederhana itu.
Rupanya aku yang hidup dari tangan orang beralaskan belas kasihan seorang majikan juga merangkak menaiki panggung kehidupan yang ketulusan kalah dengan status sosial.