Derasnya hujan membasahi jalan, serta semilir angin yang berembus silih berganti meniupi tiap tengkuk leher para pejalan yang berteduh. Beberapa di antaranya nekat menerjang, agar lekas sampai rumah. Dari arah mereka berteduh tepat di teras toko yang tidak begitu luas, Lusi menyapu pandang ke arah jalan raya, heran bercampur khawatir pun kini berada di dalam dirinya. Beda dengan Deni yang mengamini hal tersebut, secangkir teh hangat yang dibuat dengan sepenuh hati dari tangan orang yang terkasihi adalah alasan bagi mereka untuk menerobos derasnya hujan serta rela berbasah-basahan. Tiada peduli dengan demam tinggi, senyum dan salam hangat yang tulus sudah cukup menjadi obat baginya.
“Ehh, coba liat deh, kok mereka ga mau neduh dulu? Ini hujannya deras banget loh.” Ucap Lusi merasa heran bercampur rasa kekhawatiran.
“Hmm ... Kamu tuhh yaa, kok hobi banget khawatir sama orang lain. Biar saja lah, sejatinya mereka lebih mengerti tentang dirinya dibanding kita yang hanya menduga-duga.” Tukas Deni sedikit menenangkan Lusi.
“Ihh ... memang pada ga takut sakit ya? Ini dari tadi anginnya juga lumayan kenceng lohh.” Lusi menimpali dengan lebih khawatir.
“Ada yang ditunggu oleh mereka, secangkir teh hangat, senyum, serta salam hangat dari orang terkasihi adalah alasan baginya agar lekas sampai rumah. Karena hal itulah yang bisa mengobatinya.” Ujar Deni kepada Lusi dengan penjelasan yang menggugah jiwanya.
“Sok bijak deh ... Belakangan ini kamu aku perhatiin ucapannya mengandung makna yaa. Kamu kayak lagi kesambet.” Lusi menimpali dengan candaannya.
“Dih nih anak, kalo ngomong aneh. Adanya juga kamu tuh yang kesambet makhluk bawel, nyerocos mulu dari tadi.” Deni menimpali candaan Lusi.
“Kan ga nyambung, fix pokoknya kamu yang kesambet. TITIK GA PAKAI KOMA.” Tegas Lusi kepada Deni.
“Iya aja deh biar cepet.” Ujar Deni kepada Lusi.
Lebih dari satu jam waktu berlalu, mereka berdua masih menunggu hujan reda. Namun langit tidak memberi isyarat bahwa hujan akan berhenti, yang ada hanya mengabarkan keluh dengan menghadirkan awan hitam berpadukan kilatan petir.
Deni dan Lusi pun kembali menunggu hujan reda, kali ini situasi di teras toko tempat mereka berteduh sudah sepi karena banyak yang nekat menerobos derasnya hujan. Tiga langkah dari tempatnya bediri adalah sebuah kedai minuman, mereka pun bergeser sedikit kemudian mengunjungi tempat tersebut untuk memesan minuman. Deni pun segera memanggil pelayan, untuk segera meminta pesanan.
“Den tahu gak, selama aku kenal denganmu aku merasa seperti hidup kembali. Kamu sudah mengetahui sedikit banyak tentangku, kamu pertama kali melihatku tepat pada suasana seperti ini, hujan dengan sedikit angin yang berhembus dari arah timur. Tepat tiga detik setelahnya, kamu datang menghampiri dengan menawarkan sweater hitam. Caramu melakukannya terkesan kaku dan dingin, wajahmu begitu datar tidak menampakkan senyum sedikitpun. namun aku mengerti apa keinginanmu, sejatinya kamu begitu tulus saat itu” Ungkap Lusi mengingat kenangan awal bersama Deni sambil menggenggam tangan pria tersebut.
Mendengar ucapan Lusi tentang awal pertama kali bertemu dengannya membuat Deni merasa terharu, ia merasa bersyukur bisa kenal dengan Lusi. Seorang perempuan yang bagi dirinya pun merasa seperti hidup kembali. Seiring berjalannya waktu sejak ia kenal dengannya, seiring itu pula senyum dan wajah ceria mengembang di wajah Deni.
“Terima kasih telah bersedia mengenalku, pun aku merasa seperti hidup kembali berkat hadirnya dirimu. Terima kasih untuk selalu ada hingga detik ini.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
Beberapa waktu kemudian pelayan sedari tadi berdiri di hadapan Deni sambil menggerakkan tangannya tepat di depan wajah Deni dan seraya berucap.
“Mas ... Mas ... Maaf mengganggu, ini dari tadi Mas ada perlu apa manggil-manggil saya? Kalau ada yang dipesan saya bisa segera buatkan.” Ucap pelayan kepada Deni yang sedari tadi melamun.
“Ma – maaf sa saya pesan dua cangkir teh hangat.” Ucap Deni dengan terbata-bata.
“Yakin dua? Masnya sedari tadi seorang diri, dan maaf juga saya perhatiin Masnya juga bicara sendiri menyebut-nyebut nama Lusi.” Tegas Pelayan kepada Deni seolah menyadarkan dirinya.
Dirinya pun tersadar, bahwa sejak tadi ia hanya seorang diri, larut dalam delusinya. Berbicara sendirian. Membayangkan sosok perempuan bernama Lusi yang hingga detik ini garis lengkung senyumnya masih terekam jelas dalam ingatannya.
Deni adalah pria dingin dan jauh lebih dingin sebelum ia kenal dekat dengan perempuan tersebut. Baginya Lusi adalah perempuan yang dikasihinya hingga membuatnya berada di batas kesadaran. Sejak kepergiannya, Lusi hanyalah sebuah delusi yang dimainkan olehnya.