PADA suatu pagi berkabut mereka ribut di tepi tanggul kali itu. Mereka bertengkar seolah mereka dari dua perguruan pencak silat yang berseteru. Perkaranya adalah Jeje tak terima atas perbuatan Sutopo yang main selonong antrian.
“Asu!”
“Kau yang asu!”
Sutopo tersungkur. Bibir lelaki kurus bermulut besar itu robek, berdarah.
Secara harfiah, ia memang bermulut besar sebab jika mulutnya diteliti dengan penggaris, alat ukur tersebut akan menunjukkan panjang sepuluh sentimeter. Belum lagi bibirnya yang tebal. Ukuran berlebihan itu seringkali membuat ia tak percaya diri sebab merasa seluruh mukanya seakan-akan mulut semua. Maka tak mengherankan bila setiap pukulan yang ditujukan ke area muka Sutopo, hampir selalu menyerempet bagian itu.
Dan akibat diberi tinju mematikan tadi, gigi-gigi Sutopo berlumur darah, membikinnya berwarna merah seperti habis makan gincu. Menyadari ada asin-asin gurih di mulut, ia bangkit dan coba mengembalikan pukulan Jepri. Sungguh brengsek, pukulannya meleset. Malahan kepalan tangan Jepri meluncur lagi demikian drastis dan mendarat mulus di dagu Sutopo.
Orang-orang yang memergoki perkelahian tadi asyik menikmatinya. Terlebih bocah-bocah berseragam merah-putih itu, bersorak-sorak memanas-manasi. Melihat ada kehebohan macam begitu, dari jarak agak jauh Pak RT berlari menghampiri tanpa peduli sarung yang ia pakai melorot. Sebagaimana tugas ketua RT, ia berusaha mendamaikan, menciptakan kerukunan.
“Ada masalah apa ini?” tanya Pak RT. “Mbok ya jangan main tonjok-tonjokan gitu. Nggak malu apa dilihatin anak-anak itu?”
“Saya yang lebih dulu ngantri, Pak RT. Dia baru datang malah main serobot giliran saya.”
“Benar itu, Su?”
“Perut saya sudah nggak bisa ditahan lagi, Pak RT. Sudah di ujung,” kata Sutopo.
“Lah, mbok pikir saya nggak di ujung juga apa?”
“Sumpah, Jep, aku gak kuat ngantri. Keburu moncrot.”
“Nggak ngurus,” kata Jepri, menatapnya dengan kesal seperti bernafsu melanjutkan pertengkaran. Kaus biru Sutopo yang bertepung tanah ditarik ke atas, dan badannya terangkat meski hanya satu senti.
“Sudah, sudah,” Pak RT kembali mendamaikan, memandang penuh iba kepada kedua lelaki yang berada di bawah pengaruh amarah itu. “Semua masalah bisa diselesaikan secara baik-baik.”
“Tidak untuk kali ini, Pak RT. Biar saya bikin bonyok anak keparat ini,” kata Jepri. “Asu kayak gini harus dikasih pelajaran.”
Tapi dasar Sutopo bebal, ia malah mengejek Jepri dengan menyodor-nyodorkan mukanya, “Nih, bikin bonyok, nih.”
Kerumunan bertambah-tambah lebat saja mengerubungi sumber keributan. Tentu saja mereka membayangkan agar Sutopo dan Jepri kembali beradu jotos, kalau bisa sampai berdarah-darah. Sementara itu, di bawah pohon seri, ibu penjual sayur itu bahkan tak mau ketinggalan memberi semangat kepada mereka berdua. Dari tempat ia memarkir rombongnya, dengan genit ia melambai-lambaikan ikatan kangkung seakan dia seorang Cheerleader.
Tapi harapan penonton segera kandas, semua dibikin kecewa. Kedua lelaki yang tadi dikuasai amarah sama-sama lupa jika mereka sedang dalam kondisi kebelet. Setelah keluar bunyi seperti terompet murahan yang rusak, dengan bareng mereka berak di celana. Saat itu juga semua berhamburan seperti tawon yang rumahnya dirusak. Mereka muntah-muntah karena jijik menyaksikan ampas Sutopo dan Jepri. Feses mereka berserakan di tanah dan cepat mengepulkan aroma maut.
“Ingat, semua itu bisa diselesaikan dengan baik-baik. Nggak kayak gini.”
Pak RT lekas cabut meninggalkan keuanya dengan cirit meleleh di sekujur kaki mereka.