"Wah kalian datang bersama. Saya kira Sandra sedang sibuk menyiapkan sidang doktor-nya." pak Roni, pimpinan perusahaan tempat suamiku bekerja, menyalamiku ramah, lengkap dengan senyuman bisnisnya.
"Iya pak, saya memang sedang menyiapkan sidang doktor, tapi hadir untuk suami saya juga hal yang penting kan?" aku balas menyalami pak Roni, bersikap ramah dan sopan sebaik mungkin.
Hari ini suamiku mendapat promosi jabatan sebagai direktur setelah sepuluh tahun lebih bekerja sebagai manajer pemasaran. Ini adalah hari yang berarti baginya. Jadi aku memutuskan untuk menyisihkan waktu dan memberi dukungan dengan kehadiranku.
"Selamat malam bu Sandra. Saya Ana, yang akan menjadi sekretaris pak Dion setelah resmi menjabat sebagai direktur produksi nanti." seorang perempuan muda mengulurkan tangannya kepadaku dengan percaya diri. Usianya pasti jauh lebih muda dariku. Rambut panjangnya diwarnai coklat dan pilihan pakaiannya bisa dibilang sangat modis sebagai seorang sekretaris.
Aku tersenyum ramah padanya, menyambut rekan kerja baru suamiku yang mungkin nanti akan sering juga kutemui.
"Hai, salam kenal." aku menjabat tangannya, merasakan pandangan matanya tidak lagi tertuju padaku, melainkan pada pria yang berdiri di sampingku, yang tangannya sedang melingkar di pingganku.
"Sayang, kamu lapar kan? Ayo kita makan dulu sebelum acara dimulai." tangan suamiku menarik tubuhku untuk berjalan bersamanya, meninggalkan Ana yang masih belum beranjak.
"Apa dia menyukaimu?" tanyaku sambil berbisik ketika kami berhenti di meja makanan untuk mengambil sepotong tart blueberry kesukaanku.
Kepala suamiku mengangguk. Tangannya mengambil segelas jus jeruk lalu memberikannya kepadaku.
"Aku tidak akan merusak pernikahan kita. Aku janji. Aku akan tetap bersamamu sampai akhir." ucapnya sambil menatapku, mendekatkan wajahnya pada wajahku, mengelus pipiku dengan tangannya dengan lembut. Orang lain yang melihat kami pasti mengira kami adalah pasangan suami istri yang sangat romantis, masih tetap hangat meski usia pernikahan kami sudah berjalan belasan tahun.
Aku meletakkan gelas jus dan piring kecil berisi potongan cake di meja sebelah kami. Dengan kedua tangan yang bebas, aku melingkarkan tanganku ke lehernya, "Apa kamu bisa menjamin dia tidak akan bertingkah? Bagaimana kalau tiba-tiba dia ingin mendapatkan posisi sebagai istrimu?" kami berbicara saling berbisik, memastikan tak ada orang lain yang bisa mendengar kami.
"Aku tidak akan membiarkan dia berulah. Perempuan yang menjadi istriku hanya dirimu. Sampai aku mati." dia semakin mendekatkan wajahnya sampai bibir kami bertemu. Kami melumat bibir satu sama lain, menikmati keintiman yang kami miliki, yang bebas kami nikmati tanpa merasa bersalah.
Aku bisa mendengar suara tepuk tangan dan siulan saling menyahut saat mereka menyadari apa yang sedang kami lakukan.
Suamiku menarik wajahnya, menghentikan ciuman kami, tapi wajah kami masih begitu dekat seakan tak berjarak.
"Dulu, kita pernah saling jatuh cinta begitu dalam sampai mau gila rasanya. Sekarang, hanya tubuh kita yang masih mengingat satu sama lain, bukan hati kita." aku menatapnya, mendengarkan setiap kata yang diucapkannya.
"Aku akan tetap ada bersamamu dengan apa yang tersisa di antara kita. Aku janji." matanya menatap bibirku lalu mengusapnya lembut dengan ibu jari, membersihkan noda lisptikku yang belepotan karena ciuman kami barusan.
"Aku ingin merasakan jatuh cinta lagi padamu, Sandra. Jatuh cinta sampai gila." kedua tangannya yang kokoh memelukku erat, kepalanya ditenggelamkan pada leherku. Air matanya menetes.