Siapa sangka tahun 2020, tahun yang ditulis dengan pengulangan angka 20 dan 20, malah menjadi tahun yang membawa hidup gue dalam sebuah repetisi.
"Halo pah, ini Yara.. " gue berusaha tersenyum saat melihat pandangan mata papa yang kosong.
"EHHH.. Yaraaa... kamu dimana sekarang?" Papa tersenyum saat ngeliat wajah gue di layar HPnya.
"Masih di Jakarta Pah.. kan udah 2 bulan Yara kerja di rumah terus" Gue terus memandang Papa.
Kangen! Gue kangen Papa.
Papa satu-satunya orang yang selalu percaya sama gue. Bahkan ketika gue gagal atau salah mengambil keputusan.
"Maaf ya Pah.. Yara belom bisa pulang buat nengokin Papa.." Gue berusaha sekuat tenaga biar suara gue gak bergetar.
"Oh ya Pah.. Yara ada kirim makanan buat Papa, udah diterima belom? Dimakan loh ya.. harus abis!" Gue mengalihkan perhatian.
"Iya.. nanti Papa makan sama mama-mu.. kamu gimana disana? Ada uang gak? Cukup?" Kali ini papa menatap lama ke layar HP, senyum mengembang di bibirnya.
Gue cuma diem dan terus menatap muka Papa. Ketika mendengar kata "mama" gue meremas baju gue dengan keras, sampe tangan gue sakit.
Gue berharap rasa sakit di hati gue pindah ke tangan gue. Gak kerasa air mata gue menetes.
"Yara.. ?" Papa manggil gue dengan nada khawatir. Dengan cepat gue ngehapus air mata gue.
"Kamu kenapa menangis? Ayoo.. anak papa gak boleh bersedih hati!" Papa menguatkan gue.
"Pah.. besok Yara telpon Papa lagi ya.." Gue udah gak kuat.
"Loh.. kamu gak mau ngomong sama mama-mu?" Papa terlihat gak mau menyudahi video call kami.
"Besok! Yara udah ditunggu kerja soalnya" gue menjawab cepat.
"Ya udah. Kamu baik-baik disana ya.." papa menutup telponnya.
Gue masih menatap layar HP gue yang gelap.
"Pah.. sejak kecil, papa sama mama selalu ngajarin Yara.. buat bersyukur.. buat berjuang.. Pah..untuk sekali iniii aja.. Papa berjuang ya.. papa berjuang buat kembali lagi ke sisi Yara... Yara kesepian pah.. Yara butuh Papa.." kali ini pertahanan gue runtuh dan gue menangis sejadi-jadinya.
Udah 2 tahun gue kerja di ibukota. Semenjak itu, setiap hari gue selalu berkomunikasi dengan papa dan mama yang tinggal di Bali lewat video call.
Pandemic ini, udah ngasih pukulan berat buat keluarga gue, terutama papa. Hanya 7 hari setelah mama di vonis positif, mama meninggal dunia. Bahkan kami gak bisa menyentuh jasad mama untuk yang terakhir kalinya.
Gak hanya itu, papa juga harus kehilangan tokonya. Bali seperti kota mati semenjak PSBB diberlakukan.
Akibatnya, papa ngalamin amnesia psikogenic. Papa memblokir semua ingatannya. Ingatannya berhenti sampai sebelum mama meninggal.
Udah 186 hari, kami melakukan perbincangan lewat video call yang berulang-ulang dengan kalimat yang persis sama.
"Eh Yara.. kamu dimana?" sayup-sayup gue mendengar suara papa di kamar sebelah.
Ini yang bikin gue makin tertekan. Walau kami udah tinggal serumah lagi, gue gak bisa sentuh papa sama sekali. Setiap bertatap muka, papa menganggap gue orang asing.
Papa cuma bisa ngenalin gue lewat video call.
Hari demi hari gue bertahan melewati sebuah repetisi.
Dalam repetisi ini, gue hanya bisa berharap, suatu hari nanti, gue dan papa bisa menata hidup kami kembali.
Gue yakin, selama matahari bersinar, harapan masih ada.