Flash Fiction
Disukai
3
Dilihat
7,948
Penantian Sebuah Ideologi Sikap
Romantis

Cinta itu...

Sederhana,

Se-sederhana aku mencintaimu,

Tanpa koma,

Tanpa pengurangan ataupun penambahan kata.

 

Cemburu?

Kata orang cemburu itu tanda cinta,

Menurutku, tidak!

Cemburu adalah penolakan atas sebuah kesederhanaan.

Kamu merasa memiliki cinta,

Namun kamu menambahkan keinginan untuk sebuah penguasaan mengatasnamakan cinta.

 

Dan posesif!

Jika cinta adalah kesederhanaan,

Maka posesif adalah sebuah keserakahan.

Keserakahan dan kesederhanaan itu sangat berlawanan,

Tidak bisa disatukan,

Tidak bisa pula disejajarkan.

 

***

 

Aku mencoba mengingat, hal apa yang pernah bisa membuatku merasa bahagia dalam penantian ini.

Menurutku bukan suatu kebodohan, aku terbiasa melakukan sesuatu tanpa persiapan. Aku tidak suka membuat plan ini atau plan itu, biarkan semua berjalan mengikuti keadaan.

Pernah gagal?

Sering! tapi bukan berarti tak pernah berhasil.

 

“Aku mau ngomong serius sama kamu.”

Kata itu yang aku ucapkan ketika hanya ada aku dan dia di ruangan itu.

“Apaan?”

“Jika suatu hari aku melamarmu, maukah kau jadi teman hidupku?”

 

Itu kata terkonyol yang pernah aku ucapkan padanya, bukan kata 'aku mencintaimu’ ataupun 'maukah jadi pacarku'.

Sama sekali bukan.

 

“Kau cukup mengangguk atau beri senyuman sebagai jawaban!”

 

Bukan hanya sesaat kami terdiam.

Se-jam? Dua-jam? entahlah.

 

“Sudah hampir jam 5 sore, seharusnya kau sudah sampai di rumah,” ucapku mengakhiri keheningan.

“Tak perlu kau jawab sekarang, besok aku akan kembali untuk meminta jawaban!”

 

***

 

Tidak ada yang istimewa hari ini.

Aku bersikap biasa-biasa saja di depannya.

Deg-degan?

Wajar, aku manusia hidup

Harap-harap cemas?

Enggak juga.

Nothing to lose-lah, ya!” kataku menghibur diri.

 

Selalu menyisakan dua kemungkinan, antara ‘Iya dan Tidak’.

Dan aku bukan tipe seorang Programmer yang selalu menyiapkan jawaban dari setiap kemungkinan.

Jalani saja!

Dan ketika aku kembali bertemu dengannya, tak sedikit-pun menunjukan reaksi yang berlebih.

 

“Makan, Yuk!” ajaknya ketika sudah berada di depanku.

“Aku sedang puasa,” jawabku sekenanya.

“Puasa kok ngerokok? puasa apaan?” protesnya.

“Puasa-in kamu!" tentu saja jawabanku tidak serius.

“Ayooo! aku udah lapar, nih!” desaknya.

“Aku udah makan, aku nunggu di sini aja!” elakku.

“Yaaah, nggak bisa nemenin apa?” bujuknya.

Aku mulai luluh, sebenernya tanpa aku juga, dia tak sendiri, karna ada teman-temannya yang selalu bersamanya.

“Ya udah, ayo!” akhirnya aku memutuskan pergi dengannya.

 

Tadak ada yang aneh waktu makan siang tadi.

Semua berjalan seperti biasa, aku maupun dia tetap bersikap seperti biasa. Karna kami sama-sama tak ingin ada yang tau, ada 'sesuatu' antara kita berdua.

Di sela-sela makan, dia sempat mencuri waktu untuk mengucapkan ini padaku,

“Setelah ini aku langsung pulang, aku sudah tidak ada kuliah lagi, kau tak perlu mengantarku, kau masih ada mata kuliah, kan?”

Aku tak menjawab.

Dalam hati aku hanya berkata, “kalau mau langsung pulang, ngapain ngajak makan segala.” 

“Jawaban pertanyaanmu kemarin ada di sini,” ucapnya sambil menyodorkan selembar tisu yang masih terlipat.

“Aku sudah menuliskannya di situ, jangan buka sekarang, bacanya nanti saja kalo aku sudah pulang!”

Firasatku tidak enak.

“Kenapa harus ditulis pakai tisu segala?” pikirku.

Tapi sudahlah, toh dia sudah pulang.

 

Aku membuka perlahan tisu itu.

Setelah menarik nafas, aku membaca sebaris kalimat yang tertulis di atasnya.

“Kamu tak perlu menunggu jawabanku sekarang, karna besok aku akan memberi jawaban”

 ...

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar