Aku berjalan memasuki gedung itu. Seseorang mempersilahkanku menuliskan nama di buku daftar tamu. Nastar Nanas. Tulisku, tak peduli pada bingung yang menguasai separuh wajah penjaga itu. Pandanganku segera tertuju kepada pelaminan indah nan mewah, meski sejujurnya, lebih tertuju pada sepasang manusia di tengahnya yang tersenyum bahagia. Barangkali mereka merasa serupa nirwana.
Para undangan yang menyantap hidangan dengan senang hati, beberapa mengobrol dengan senyum juga tawa, ada pula yang menyanyikan lagu cinta di panggung kecil, dan mereka yang menyalami mempelai dengan raut gembira. Semua yang ada di sini menikmati kebahagiaan, barangkali mereka lupa atau bahkan tak menyadari bahwa ada satu sosok yang di kedua sudut matanya berusaha keras menahan bulir air mata agar tak jatuh. Kehadirannya serupa ucapan selamat tinggal yang selamanya akan tanggal.
***
Sewindu sebelum itu.
“Terima kasih, sayang, karena telah memperkenalkanku dengan rasa yang bernama cinta.” Aku lalu mengecup lembut bibirnya. Ia mendekapku, seakan setelah malam ini kami tak bersama lagi.
“Aku takut….” Ucapnya lirih
“Selepas lulus nanti, aku kembali ke Indonesia, kita menikah.” Air matanya jatuh mendengarnya. Pendingin ruangan di kamar tak mampu membuat kami menggigil sebab kehangatan di antara pelukan memberi kenyamanan. Separuh malam dihabiskan untuk bercinta sebelum besok sore aku ke bandara, terbang ke Amerika.
***
Sebelum aku akhirnya memutuskan datang ke pernikahannya, telah ku sisipkan sebuah surat dalam kado berisi jam dinding. Pada surat itu tertulis isi hati: Terima kasih untuk ingkar, apapun alasanmu.