Namanya Iman, hanya satu kata itulah warisan dari kedua orang tuanya. Sepertinya sebuah doa agar anak mereka tetap beriman. Tapi nyatanya tidak selalu sebuah nama sesuai dengan harapannya. Dalam kasus Iman hal serupalah yang terjadi.
Iman seringkali bertanya-tanya, bagaimana bisa setiap orang memiliki kepercayaan yang berbeda-beda namun masing-masing meyakini merekalah yang paling benar? Bolehkah mereka semua benar bersama-sama? Kerapkali ia menanyakan perihal semacam ini. Guru-gurunya sudah capek menjelaskan. Dijelaskan satu, ia kembali dengan dua pertanyaan, begitu seterusnya. Hingga kemudian ia disuruh berpuasa, tapi kemudian lapar dan pergi ke warung nasi. Lalu di ruqyah, tanpa hasil, hatinya tetap goyah dan pertanyaan demi pertanyaannya semakin liar. Hingga pada satu titik, ia sendiri lelah bertanya, lelah belajar, kemudian pergi bekerja sebagai kuli panggul di stasiun kereta.
Pada suatu sore cerah di akhir jam tugasnya, hati Iman tertambat pada seorang gadis jelita. Koper sang gadis telah ia panggul sedari gerbong kereta hingga ruang tunggu stasiun. Mungkin suasana sore yang begitu syahdu, atau karena rupa sekaligus gerak-gerik gadis itu yang sedemikian mempesona Iman. Ia lalu memberanikan diri mengajak sang gadis berkenalan.
Diterangi cercah mentari yang menyibak bayangan dedaunan, gadis itu menyambut perkenalan Iman. Namanya Nur, hanya tiga huruf. Nur sanggup membaca tujuan perkenalan Iman, dan alih-alih memberikan nomernya, Nur memberikan nomer ayahnya.
"Dengan cara inilah kau bisa mencoba berkenalan lebih jauh denganku." Nur kemudian menyematkan sesimpul senyum, dan tidak berkata apa-apa lagi hingga keluarganya menjemput. Hingga mobil yang membawa Nur surut dari pandangan Iman menjauhi stasiun.
Iman memang manusia bebal, tapi ia tidak bodoh. Seorang gadis bernama Nur telah membawa hatinya entah kemana. Nur dengan jelas telah memberikannya penunjuk jalan, tapi jelaslah bahwa jalan itu sama sekali tidak ringan terutama bagi dirinya. Iman kembali bertemu keimanan.
Semalaman ia menatap kertas berisi nomor telepon ayah Nur. Menimbang-nimbang kapan dan apa yang harus ia lakukan. Saat matahari mulai terbit Iman menggenapkan keputusannya. Disimatkan kertas itu dalam dompet imitasi usangnya dengan hati-hati, layaknya sebuah jimat.
"Tunggulah sebentar, aku akan datang dalam keadaan beriman." batin Iman.
Maka dimulailah kembali hari-hari dimana Iman mulai mencari keimanan. Dari internet, buku-buku, radio, televisi, hingga mimbar-mimbar agama. Kali ini ia hanya bertanya dalam hati, tak mau lagi ia di ruqyah dianggap dikuasai jin. Namun berhari-hari berusaha hasilnya tetap sama Iman selalu ragu terhadap imannya.
Hingga sore lain kembali menghampiri Iman, kali ini dalam mendung yang murung. Sore kali ini bukan mengantarnya bertemu Nur, melainkan seorang sales obat.
"Ini rahasianya orang orang alim jaman sekarang pak. Sebuah pil, suplemen jiwa, obat bagi keimanan suplemen bagi kebersihan hati, penawar segala kemusyrikan." Ceracau sang sales.
Iman menimbang-nimbang. Tak seperti hari-hari lainnya, sales obat hari ini datang seolah malaikat menghampirinya bersimbah cahaya diujung lorong gelap. Mungkin ini investasi terbaik, batinnya sendiri.
Esoknya Iman terbangun menjelang siang, seperti biasanya. Namun kali ini ia menangis, pertama kalinya setelah belasan tahun. Entah karena Iman sudah beriman namun tertinggal sholat subuh atau karena sisa THR-nya yang dipakai membeli obat kemarin sia-sia.