Pagi sudah pergi. Siang yang ditandai dengan Matahari di ubun-ubun buktinya.
Bahkan karena sebegitu panas, klakson berbagai kendaraan di lampu merah saling bersahut-sahutan tatkala menunggu warnanya berganti sebab tak sabar ingin menghindar dari cahaya yang terasa sekonyong-konyong bisa membakar kulit itu.
Pun, Ampera yang membentang di atas Sungai Musi bahkan jadi terasa amat panjang bagi para pelintasnya di waktu-waktu seperti ini. Membuat hanya restoran-restoran di dekatnya saja tempat yang begitu ingin mereka kunjungi saat ini.
Fan dan Iska, dua manusia dengan jenis berlawanan tersebut adalah pembuktiannya.
Karena kepanasan sekaligus lelah karena berkeliling Kota Palembang selama dua jam, mereka berdua sepakat untuk beristirahat di restoran semi-outdoor yang menyuguhkan pemandangan hamparan Sungai Musi itu sembari menikmati menu makanannya.
“Ayamnya enak banget, ya?” kata Fan sambil tersenyum ramah ke arah Iska.
Namun, tak sesuai ekspetasi, lagi dan lagi aksi Fan dalam membuka pembicaran tidak disambut hangat oleh pasangannya tersebut. Iska hanya sekedar mengangguk pelan tanpa menatap sebab netranya terfokus pada layar ponsel.
Apa topikku terlalu hambar, ya? batin Fan sambil melirik sekeliling setelah terkena serangan respon tak sedap itu tepat di hati. Barangkali, ada sesuatu yang mampu menjadi referensi agar pembicaraan mereka jadi lebih segar.
Mata Fan berhenti tepat pada jam dinding yang berada sedikit jauh di belakang Iska. Jarum-jarumnya memunculkan sebuah ide untuk lelaki tersebut. “Kalo waktu itu jarum jam, kamu mau ngapain?” ucapnya dengan harap hening ini berakhir setelah sepuluh menit lamanya.
“Maksud kamu?” Iska melirik Fan sesaat dan kembali fokus pada ponsel.
“Ya ... semacam bisa bebas muter waktu mundur atau maju sesukanya.”
Berhasil! Iska mematikan ponselnya dan menaruhnya di meja serta lantas menatap Fan lekat. Lekat sekali. “Aku bakal nyegah diri aku buat pergi ke Jakarta supaya enggak perlu ketemu kamu dan kata ‘kita’ ga pernah tercipta.”