Apakah aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang kujunjung amat mulia. Kupejamkan mata perlahan-lahan masuk ke alam kegelapan. Namun anehnya, ada cahaya samar-samar yang kerap membuatku menitiskan airmata.
Aku langsung membaca doa tidur lagi. “Bismika Allahumma Ahya wa Amuut” dan terpejamlah kedua mataku hingga suara azan Subuh membangunkan.
Kubuka pintu kamarku, ruang tamu dan dapur sudah padam lampunya.
“Ayah dan Ibu sudah berangkat bekerja seperti biasa.” Desisku kecil.
Kuselipkan doa-doa untuk kedua orangtuaku yang sangat kusayangi. Di meja makan Ibu telah menyiapkan makanan. Uang saku juga ditaruh di bawah gelas minumku.
Hari ini ada ulangan Bahasa Inggris. Aku harus percaya diri. Bu Anisa bilang, “You can do it!” Theeetttttt
Anak-anak berhamburan menuju ke halaman sekolah termasuk diriku untuk apel pagi. Yang paling kusuka dari apel pagi adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya. “Good morning, students….” Sapa Bu Anisa.
“Good morning teacher….”
Aku yang duduk paling depan melihat Bu Anisa selalu penuh semangat masuk kelas menjadi lebih gembira. Ketika Bu Anisa mulai membagikan kertas ulangan, aku yang sudah dapat terlebih dahulu mulai menuliskan nama dan nomor absenku di kolom yang tersedia.
Entahlah, suasana kelasku tampak hening. Tak terdengar suara Galih yang biasanya bikin ribut. Biasanya dia suka nyanyi-nyanyi tak jelas juga mengganggu murid lainnya. Aku sedikit lebih tenang mengerjakan soal.
Alhamdulilah, akhirnya aku dapat menyelesaikan soal ulangan Bahasa Inggris dengan baik, pikirku. Bu Anisa memegang tanganku, “Put, kamu ikut lomba story telling, yah. Nanti latihan dengan Bu guru.”
Aku menyunggingkan senyuman. Aku sangat senang sekali dipilih oleh Bu Anisa untuk ikut lomba story telling.
Tak sabar rasanya ingin kuberitahu Ayah dan Ibu. Sepulang sekolah aku tak jadi pergi ke rumah Siti temanku. Aku langsung pulang, Ibu pasti sudah di rumah. Namun tiba-tiba langkahku perlahan berjalan. Rumahku ramai orang dan kulihat Pak Darmo memasang bendera putih.
Aku bingung melihat para tetanggaku. Kakiku terasa berat melangkah. Namun aku penasaran untuk segera mengetahui isi rumahku.
Bibi Musni menarik tanganku. Kumenutup kedua telinga dan membiarkan airmataku membasahi pipi. Aku tak kuat untuk menjerit, aku hanya bisa menangis. Bibi Musni menuntunku mendekat ke arah meja yang di atasnya ditutupi kain jarit.
Kupeluk tubuh yang tak bernyawa lagi. Bukan satu melainkan dua. Aku hanya bisa menangis sambil mendoakan Ayah dan Ibu. Kata Bibi Musni, Ayah dan Ibu mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang.
“Pi, aku tak tahu lagi tentangmu. Aku juga takut kehilanganmu, Pi. Andai saja Ayah dan Ibu masih di sini Pi, mungkin aku tak merasa sepi. Walau mereka hanya di rumah sekejap. Namun tetap beda rasanya Pi. Pi, apa mungkin aku masih bisa menggapaimu? Apakah aku bisa meraihmu, Pi? Kini aku sendiri Pi, suara-suara penyemangatmu tak lagi kudengar. Apakah kamu marah padaku Pi, karena sudah lama aku tak mengukir tentangmu. Apakah kamu sudah terbang juga bersama Ayah dan Ibuku, Pi? Maafkan aku yah, Pi karena sudah mengabaikanmu.”
***