Pagi tadi, di semak liar tak bertuan. katak lirih mendoakan hujan, ia berdoa pada cakrawala agar langit pecah supaya ular yang dari tadi membidiknya sebagai sarapan pagi mencari opsi lain. Ia merdukan suaranya yang parau agar langit iba. Selain berdoa, apalagi yang bisa katak usahakan, mengadu kemampuan dan pengetahuan dengan makhluk merayap tadi adalah sebuah tindakan bodoh yang dapat mengakibatkan nyawanya hilang sia-sia sebab Penguasa Jagat Raya mengkadarkan kegesitan gerak-gerik dan kejeniusan ilmu pengetahuan sesosok katak tak lebih cakap dari seekor ular. Makanya, ia berdoa, usaha yang paling usaha.
Sudah lama katak tahu. Ular, kemungkaran paling bedebah dalam hidupnya berperangai begitu untuk menjaga keseimbangan ekosistem semak belukar ini agar tak timpang sebelah. Peranakan katak yang seratus kali lipat lebih subur dari ular membuat alam menakdirkan katak sebagai mata pencaharian dari ular, itu secara umum. Secara khusus, sudah begitu karater seekor ular. Katak memang diciptakan untuk memelihara sifat keularan seekor ular agar hidupnya yang tak lama itu berguna untuk makhluk lain. Katak tahu, sangat tahu malah. Ia tak meributkan semua itu. Sudah begitu kehendak Yang Maha Kuasa. Lantas, kenapa ia mendoakan hujan?
Ada yang luput dari pandangan semesta terhadap katak. Dari semenjak katak dapat menyentuh tanah. Hujan, yang tak hanya senantiasa menjinakan hasrat ular padanya, tapi juga membawa sesuatu rasa indah yang terselip dalam di tiap-tiap bulirnya. Yang diam-diam, menumbuhkan rasa riang yang membuat dadanya membuncah. di setiap hujan turun, ia melompat riang ke tempat terbuka, mengadahkan wajahnya pada hujan, merasakan tetes bulir hujan yang syahdu menerpa wajahnya seraya merentangkan tangannya. Karena itu ia suka memanggil hujan. Tak peduli cakrawala berkecamuk, tak peduli ocehan hewan lain yang menganggapnya gila. Tak peduli apakah hujan tahu katak selalu menari di tiap kehadiran hujan. Katak tak peduli. Ia jatuh cinta. Sejak kapan cinta berlogika?
Pagi tadi, tak seperti paginya biasanya, katak lirih mendoakan hujan, matanya merah, pipinya basah. Sekarang musim kemarau, langit cerah tak berawan. Ular hanya beberapa hasta lagi dari tempat ia bersandar, telah siap jiwa raga menyantapnya. hidup katak tak lama lagi.
Katak menangis bukan karena ular bedebah itu. Katak tahu, akan datang waktunya ia menjadi bagian rantai makanan sebuah ekositem, dan sekaranglah waktunya itu. Tapi, ia bersedih karena tak akan pernah lagi dapat bersua dengan hujan. Sesosok yang tak pernah dimilikinya. Dadanya sesak, Bagaimana merelakan sesuatu yang tak pernah dimilikinya?
Ia hanya berdoa, ditumpah ruahkan kata semoga untuk kebaikan hujan di akhir hayatnya.
Ia hanya berdoa, karena tak ada cara lain untuk meluahkan cintanya.
Ia hanya berdoa, cinta yang paling cinta.
PS. for more like this, u can check my bio. ciao :)