"Hei! Kapan mau bayar uang kosnya? Buruan! Aku lagi bokek nih!"
Suara keras menusuk gendang telinga itu terdengar saat aku membukakan pintu kamarku. Sebelumnya, suara gedoran keras dari wanita itu juga mengganggu tidur siangku.
"Iya, Bu. Bulan depan sekalian ya."
"Bulan depan terus, depan yang mana? Nggak tahu apa uangku udah habis ...." Karena aku sudah bosan dengan semua perkataannya, aku bahkan sudah tidak bisa menangkap perkataan akhirnya. Wanita yang selalu bergincu tebal itu, terus mengoceh tanpa henti di depan kamarku. Sungguh menyebalkan!
"Ya sudah, pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus lunasin bulan depan, titik!"
Aku mengangguk malas untuk menjawab pernyataannya.
Baru saja aku ingin menutup pintu, terdengar teriakan laki-laki dari luar gerbang. "Pakeeeet!"
Beberapa saat kemudian, wanita dengan banyak rol di rambut kepalanya, berlari cepat untuk menyambut pria itu. Sebuah bungkusan besar ditentengnya saat kembali masuk.
"Wah, beli apa tuh, Bu?" Rima, tetangga kamarku yang baru masuk menyapa ibu kosku itu.
"Koper branded dong! Kamu baru pulang?" Wanita itu duduk sambil membongkar bungkusan tadi. Sebuah koper dengan lambang huruf L dan V diangkatnya tinggi-tinggi.
"Iya, Bu ... oh iya, ini uang bayaran kosku bulan ini sampai bulan depan, Bu."
"Nah gitu dong! Jangan kayak si Nata, nunggak terus. Orang miskin gaya-gayaan ngekos di sini." Wanita itu menatapku tajam. Tak tahan lagi, kubanting pintu di hadapannya. Ia memang selalu seperti itu padaku.
Terlintas dalam pikiranku, aku ingin memberi surprise untuk ibu kos kesayanganku itu. Malam harinya, aku membuatkan teh susu untuknya sebelum ia pergi tidur. Ia tersenyum, aku pun senang.
Keesokan harinya, aku menonton televisi. Dalam liputannya, seorang reporter mengisahkan sebuah koper dengan merk ternama, ditemukan di sebuah kebun kosong. Di dalam koper itu berisi potongan mayat tanpa kepala.
Aku tersenyum, memandang lemari es mini di sudut kamar kosku.