Langit senja begitu menawan bersama deburan ombak. Sepasang kekasih duduk beralaskan pasir.
"Daf, aku mau ngomong sama kamu!" kata Inova sambil menikmati keindahan ciptaan-Nya.
"Aku juga mau ngomong sama kamu."
"Ya udah kamu ngomong duluan, Daf!"
Daffin menyerongkan pandangannya. "Putus."
Satu kata terucap tegas dan serius keluar dari mulut Daffin. Inova menjambak rambutnya sendiri yang bergerai panjang.
"Kamu kenapa?" tanya Daffin tanpa rasa berdosa.
"Dasar kau laki-laki!" Inova melototkan mata.
"Kamu gak kesurupan kan?"
"Biarin aku kesurupan." Inova berjalan kilat meninggalkan Daffin.
Daffin mengejar Inova, hingga gadis itu menghentikan langkahnya.
"Buat apa kau mengejar aku?" tanya Inova dengan nada tinggi.
"Kamu kenapa sih?" kata Daffin tanpa merasa berdosa.
"Kita putus, buat apa kamu ngejar aku?" Inova membalikkan tubuh 180 derajat. Hingga dua insan saling menatap.
Dengan sigap Daffin berkata, "Aku nyesel ngajak kamu nge-date hari ini."
"Seharusnya yang nyesel aku," tegas Inova.
"Ya, aku nyesel. Kenapa kita harus putus?"
"Dasar pikun!"
"Kamu cewek kurang ajar ya sekarang?"
"Apa salahku?" Inova bersedekap sambil menatap langit.
"Aku masih muda dan ingatanku masih jernih. Kenapa kau mengatakan aku pikun?" cecar Daffin.
"Ya, kamu sadar gak sih dengan omonganmu tadi?"
"Emang apa? Sampai kau segitunya sama aku."
"Ingat ya, Daffin! Kamu yang mengajakku putus duluan," maki Inova.
Daffin membuka memori otaknya. Ia tertawa berbahak-bahak.
"Dasar! Laki gak jelas." Omel Inova.
"Matamu normal kan! Lihat kakiku!" pinta Daffin.
Ketika mata Inova mengarahkan pandangannya ke kaki laki-laki itu. Daffin berkata, "Aku memang berkata putus. Tapi, gak mutusin kamu. Yang putus itu serampat sandalku."
Inova terdiam. Emosi yang menguasai mulai reda, tetapi belum sepenuhnya terobati.
"Kalau kamu gak percaya, ayo kita ke tempat tadi!" ajak Daffin.
Inova mengangguk. Ia berjalan menuju tempat semula. Sebuah sandal cukup menjadi bukti. Inova malu pada dirinya sendiri.
***