Berdiri, sekali lagi. Kumasuki pertempuran yang kuharap menjadi akhir cerita. Masih berusaha mengokohkan pijakan di atas tanah kering yang membisu. Meski kutahu ia tak lama lagi akan basah semerah mawar. Basah oleh ego dan merah akan hasrat, dikarenakan satu orang manusia yang menyombong mengangkat dirinya menjadi Raja dengan jalan hina.
Seorang Jenderal Lalim yang mengkudeta Raja Sah dengan kekuatan militer kerajaan itu sendiri lewat fitnah dan hasutan yang teramat licik. Sosoknya kemudian tercuat dari mulut kami sebagai Si Pembawa Tirani. Menebar teror yang menyisakan benci. Memutus asa lalu menghancur mimpi. Meluluh lantah ke penjuru negeri.
Kian lama kian kuat cengkraman tirani ini. Hidup sudah lebih buruk dari pada mati itu sendiri. Telah lelah dijajah, muak sudah dipijak, terlalu lama dihina. Akhirnya api pemberontakan tersulut juga setelah sebelas tahun dinanti. Hari ini, dia kami perangi. Meski akan musnah raga ini, dia tetap harus pergi. Demi masa depan yang merdeka untuk anak-anak kami.
Di kaki bukit dari baris terdepan, kata-kata pembakar semangat Pemimpin Pemberontakan menerjang telinga.
"Kalian bukan manusia! Hari ini kalian adalah maut! Maut yang akan mengikis habis tirani!"
"Buatlah musuh melihat wujud maut sebelum mereka mati! Maut yang menerjang! Menggila! Meronta!"
"Para Mautku, lepaskan neraka di ujung jari kalian... Hantam Merekaaaaaa!"
Seketika panji perang pun berkibar, genderang pun mulai ditabuh, Pasukan Pemberontakan pun kini melaju diikuti dengan sorak sorai yang melolong bagai serigala lapar.
Bernaungkan ribuan anak panah yang melesat menggantikan awan mendung. Beralaskan tanah yang bergetar akibat hentakan kaki kuda, kaki manusia maupun roda kereta. Bertemankan ayunan pedang dingin yang menyayat tanpa bicara. Aku maju bersama para pemberontak yang sudah mengira diri mereka bukan lagi manusia.
Ada yang hilang, ada pula yang merasuk. Bagai manusia kehilangan nurani kami mulai berlari menuruni bukit dan menyerbu. Seolah iblis telah merasuk raga lalu merusak kalbu dan menutup mata hati kami satu per satu. Menyisakan semangat perang yang terbakar membara di hati.
Tetapi sesungguhnya bukan. Bukan semangatku yang terbakar. Melainkan rasa takut inilah yang hangus habis tersapu. Meninggalkan celah di hati. Celah yang tak akan pernah penuh. Meski telah terisi penuh seluruh tumpah darah musuh.
Tampak di bawah sana Pasukan Kerajaan telah mantap untuk menunggu hantaman kami. Meski dihujani oleh anak panah yang menjadikan sedikit mayat di barisan terdepan, mereka tetap kokoh. Pasukan berkuda mendahului kami yang berjalan kaki, menggempur susunan perisai untuk membukakan jalan.
Sesaat sebelum dua pasukan saling bertubrukan, Pemimpin Pemberontakan kembali berkata dari atas kudanya.
"Maju sampai tak ada lagi buntu wahai Para Mautku!"
Jarak antara Pasukan Pemberontak dengan Pasukan Kerajaan kini sudah tak ada. Kami mulai saling menyayat dan menerjang. Tiap sayatan ini terus membawa langkah demi langkahku. Selangkah untuk menghindar dari akhir yang menerjang di awal. Aku terus maju, menjemput hidup, menebar maut.
Keringat bercucur diiringi kengerian yang tertabur. Kami yang dikata Para Maut, satu per satu mulai dijemput oleh Sang Maut. Tanpa sadar aku pun mulai meracau sendiri.
"'Setiap kaki yang patah, setiap tangan yang terbelah, setiap darah yang tumpah. Akan menjadi penyangga untuk meraih masa depan yang cerah. Berapapun nyawa yang dibutuhkan, biarlah habis sudah."