Tidak ada yang pernah benar-benar pergi, ia hadir dan pergi namun menentap dalam kenangan. Tidak ada yang benar-benar hilang ia hanya pindah ke ruang lain, dan tidak ada yang benar-benar akan berpindah ia hanya menyebutnya dengan nama lain. Namaku mantan saat ini kau menyebutnya begitu, namun untuk ku nama mu tetap Bunga.
Sudah berjam-jam aku ditempat ini, tempat kita biasa bersama. Kehadiran ku saat ini bukan untuk bersama mu namun menunggu kau berpindah tempat. Secangkir dua cangkir tak terasa sudah empat cangkir kopi pekat ku minum, pemiliknya sudah hafal aku akan di sini pada hari yang sama setiap minggunya dan langsung menyodorkan apa yang biasa aku pesan, bukan hanya aku tapi kita.
"Bos sampai kapan mau gini?"
"Sampai semuanya berpindah."
Sang pemilik yang juga melayani tempat ini agak khawatir dengan keadaan ku saat ini, belakangan ini. Aku bukan berharap akan hadir mu namun aku hanya memastikan jika kau tak akan datang lagi. Jika kau datang maka aku percaya kau tidak pernah benar-benar pergi hanya menghela nafas dan kau akan kembali.
Seperti biasa waktu sudah menunjukan pukul delapan malam dan pukul sembilan aku akan pulang. Aku menghabiskan roti bakar yang biasa kau pesan tapi aku ragu untuk menghabiskannya, sisa setengah lagi dari satu porsi aku enggan memakannya, lalu ku biarkan di sana, di tempatnya.
"Ghalih?" Sayup-sayup ku mendengar seseorang, suara yang biasa ku dengar, aku masih tak percaya. Bibir ku jelas gemetar, raga ku yang kikuk tak dapat ku sembunyikan. Aku mencoba berdiri, melihat siapa yang hadir pelan-pelan ku buka mata dan menatapnya.
"Bu ... Bu ... Bunga?" Ia datang, ia tak pernah benar-benar pergi.