Bau tak sedap menyeruak menyusup rongga hidungku. Melarut dalam lendir dinding hidungku. Menggelitik syaraf pembau dan mengirimkan pesan mengerikan pada otakku. Menyentak kesadaranku. Memaksaku membuka mata meski terasa berat. Perlahan kelopakku membuka. Membebaskan cercah yang menanti masuk menembus kornea dan berjejalan mendobrak lorong pupil mataku hingga tertangkap oleh lensa.
‘Di mana aku?’ batinku terhenyak.
‘Mulutku? Tanganku? Kakiku? Oh, tidak! Di mana aku?’ jeritku terjebak dalam hati.
Aku meronta. Berusaha meloloskan udara dari dalam tubuhku lewat tenggorokanku. Membiarkannya menggetarkan pita suara dalam laringku. Namun sepertinya usahaku sia-sia. Gumpalan benda menyumpal mulutku. Menghalangi getaran udara dari laring yang hendak berhambur keluar. Mulutku terbekam.
Kuedarkan pandangan di ruang itu. Ruang panjang menyerupa lorong yang membuat bulu kudukku meremang. Tak pelak membuat rontaanku makin menguat. Tak ada hal normal yang kutangkap dari satu titik ke titik yang lain.
‘Tempat apa ini?’
Tak hentinya pertanyaan itu muncul.
‘Oh, Tuhan! Bebaskan aku! Tolong aku, Tuhan!’ batinku memohon pada satu-satunya Zat yang kuingat sekarang.
Semakin pasi kurasa wajahku kini. Ketika sedikit menyembul bias benda dari balik tirai samping kananku. Tirai putih dengan bercak merah di beberapa bagian. Entah apakah itu benar sesuai pemikiranku. Tapi, benda yang menyembul itu sangat mirip dengan potongan kaki yang digantung pada besi menyerupa kail raksasa. Celah di atas tirai mempertontonkanku kail serupa, berjejer menyatu dengan besi silinder. Kurasa, besi itu tertempel memanjang hampir sepanjang lorong.
‘Astaga, Tuhan!’ batinku kembali belingsatan.
Belum cukup dengan gantungan aneh itu. Aku terkesiap pada benda-benda di atas meja stainless berukuran 125 x 250 cm di depanku. Berjajar berbagai jenis pisau dari yang berukuran kecil hingga yang sangat besar. Dari sekedar jenis pisau dapur hingga pisau lempar bahkan parang.
‘Biadap! mungkinkah ini tempat …’ ucapku dalam hati terhenti.
Tak mampu kubayangkan lagi tentang tempat macam apa ini. Terlebih dengan banyaknya titik di ruang ini yang seperti terkena noda merah serupa darah.
Tubuhku melemah, tak mampu lagi berontak. Kepalaku tertunduk lesu. Namun, bathup penuh dengan cairan berwarna merah tepat di bawahku membuat mataku mengerjap. Diikuti geliat tubuh dan suara teriakan yang tertahan dari rongga mulutku. Kakiku menjejak-jejak brharap ikatan-ikatan ini akan terlepas karenanya.
GLEK.
Suara kunci pintu yang bergerak, menggema di ruang ini. Jantungku berdegub makin kencang. Darahku berdesir tak karuan seiring kenop pintu yang bergerak turun.
‘Rani!’ seruku dalam hati.
‘Tolong aku, Ran! Lepaskan aku.’ Lagi-lagi aku hanya mampu menderu dalam hati.
“Welcome to my home, Ben! Semoga dinner malam tadi menjadi hadiah terakhir yang paling manis untukmu.”
Rani berjalan pasti ke arahku. Menyambar mesin pemotong kayu di bawah meja. Menyalakannya dan terus berjalan mendekatiku. Tawanya membahana seantero ruangan, bersaing dengan bisingnya deru pisau mesin yang berputar. Rontaanku tak mampu menghentikan koyakan mesin itu yang menghujam tepat di perutku.
'Tidak!'
Darahku menyembur.
Tawa Rani dan deru mesin meredup bersamaan pandangan mataku yang mulai mengabur.
Hilang.
Lenyap dalam gelap.
***THE END***