Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Lorong sepanjang 15 meter dengan lebar 4 meter, berlantai pualam putih dan dinding warna serupa. Lorong dengan aroma obat-obatan yang kental. Senyap tanpa lalu lalang. Hanya ada aku di sini, terduduk di atas kursi tunggu yang juga berwarna putih. Kulihat jam tangan di pergelangan tangan.
‘Ah benar saja, sudah tengah malam,’ batinku.
Tanganku mencengkeram bagian bawah dudukan kursi yang bermaterial logam. Seketika rasa dingin menyergap kemudian menyeruak relung hatiku. Menyadarkanku dari lamunan. Kutatap pintu berdaun kupu dengan ornamen kaca di salah satu sisinya. Tak juga ada pergerakan.
Kutautkan kedua tanganku, saling mengait tepat di belakang leherku. Lalu kucengkeram leherku dengan kedua ibu jariku. Belum genap semenit, kini kedua telapak tanganku menggamit hidungku dengan ujung telunjuk saling menjepit kulit keningku. Sedetik kemudian bangkit dari duduk dan melangkah mendekati pintu yang sedari tadi kupandangi. Berharap pintu itu kemudian terbuka. Mengantarkan kabar gembira.
Namun sayangnya, sepertinya harapku belum terwujud. Entah berapa kali aku duduk, berdiri, lantas mendekatkan telingaku pada pintu itu atau sesekali mencoba mengintip. Pintu itu tetap bergeming.
Aku bergidik. Mencoba menepis bayangku tentang pikiran buruk yang sempat bergelayut. Tentang cerita kematian seorang ibu dalam prosesi persalinan.
‘Ah tak mungkin. Sekarang sudah zaman modern. Dokter pasti mampu mengatasinya.’
Berulang kubisikkan kalimat penenang dalam batinku.
‘Boleh orang lain, tapi tidak Starlaku. Tuhan boleh mengambil anak itu, tapi tidak Starlaku.’
Ucapan itu berdengung dalam otakku. Kejam. Jahat. Bukan karena aku orang yang tak punya hati. Namun justru karena hatiku kini penuh dengan rasa cinta dan sayang. Cinta dan sayang untuk Starla. Itulah mengapa, tak bisa kubayangkan hidupku tanpanya. Bagaimana bisa kujalani hidupku jika tak bisa lagi kulihat senyum Starla? Bagaimana bisa aku tetap melanjutkan hidup jika tak ada Starla di sampingku? Bagaimana jadinya jika aku tak lagi bisa memeluknya?
Kucermati bayangan diriku yang terpantul pada kaca pintu itu. Rambut cepak, kaos gombrong, celana jeans, dan sepatu kets. Tampak santai, namun tidak dengan wajah itu. Wajah yang tak mampu menyembunyikan gurat khawatir.
JEGLEG!
Kenop pintu bergerak, diikuti terbukanya salah satu sisi pintu. Seketika aku berhambur mendekati orang yang keluar dari balik pintu.
“Selamat, ibu dan bayi sehat. Anda suaminya?” tanyanya.
“B-bu-bukan, Pak. Saya temannya. Suaminya sedang bertugas di luar kota.”
Iya. Sayang aku bukanlah suaminya. Dan tak akan bisa menjadi suaminya. Karena aku adalah Rasti. Meski aku nyaris tampak seperti seorang pria. Tapi aku hanyalah seseorang yang memiliki jiwa pria namun sayangnya terjebak dalam tubuh wanita. Seseorang yang diam-diam mencintai Starla dan rela menjadi sahabatnya agar bisa selalu di dekatnya.
***Tamat***