Empat Dinding Satu Atap
Keira terkagum-kagum begitu membuka mata. Dia menatap ke sekeliling.
Empat dinding.
Satu atap.
Akhirnya, Keira punya sesuatu yang bisa disebut rumah. Saat berumur delapan tahun. Setelah bertahun-tahun tidak.
Tanpa Dinding, Tanpa Atap
Keira mengeluarkan suara sembernya dan menggoyangkan “kecrekan”. Dia menunggu orang dalam mobil di perempatan jalan itu memberinya uang. Diberi atau tidak, dia akan.
Dua jam kemudian, hanya ada beberapa logam di saku Keira. Lalu dilihatnya Dimas. Dia enam tahun lebih tua, dan selalu membuatnya takut. Menghindarinya hanya akan membuat Dimas menggila.
“Aku lagi perlu lem,” Dimas menggeram.
Keira mengeluarkan uang di sakunya. Semua.
“Ke gubuk!”
Keira memelas, berjanji esok memberi lebih banyak.
Satu Atap
Bahkan saat dipakai untuk berjualan es dawet dan belum hampir roboh seperti sekarang, gubuk itu tidak punya dinding utuh. Hanya setengah dinding di empat sisi.
Dimas menggiring Keira ke dalamnya.
Di gubuk seperti ini sekitar dua ratus meter dari sini, adalah tempat Keira tinggal.
“Jongkok!”
Dimulailah ritual itu. Dimas meraba tubuhnya, kasar. Mencari-cari logam atau kertas yang mungkin terselip.
Satu Dinding, Satu Atap
Mungkin Keira menangis. Mungkin tidak. Semua tertutup hujan. Andai hujan membilas rasa jijiknya. Jika Dimas merasa uang Keira terlalu sedikit, dia akan mencari-cari di balik pakaian Kiera. Ini kali ketiga.
Seseorang menepikan motor, berteduh.
“Adik namanya siapa?”
Nada ramah gadis itu terasa aneh.
“Keira.”
Mata gadis itu membelalak. Pasti heran bagaimana Keira bisa menempel pada anak selusuh dan sekotor itu. Begitu juga orang-orang di sekitar ibunya dulu. Saat Keira masih lima tahun dan belum meninggalkannya.
“Kenapa tidak memakai nama bagus meskipun nasib jelek?” tantang ibunya. “Itu lebih baik daripada punya nama jelek dan nasib jelek.”
“Dari mana nama sebagus itu?”
“Ada yang jual diri di pinggir jalan, namanya itu.”
“Adik mau nasi ayam?” Suara gadis itu mengembalikan Keira ke masa sekarang.
Keira mengangguk.
“Adik tinggal dengan siapa?”
“Sendiri.”
Gadis itu terpana.
“Ibu pergi waktu Keira berumur tujuh tahun.”
Gadis seperti itu pernah datang. Dulu dalam bentuk seorang kakak laki-laki. Berkat dialah Keira bisa mengenal kebanyakan huruf dan mengeja dua huruf. Meskipun dia kesulitan membaca suku kata dengan tiga huruf.
Dua Dinding, Satu Atap
Pria itu datang tiba-tiba. Bukan yang mengajarinya huruf-huruf. Bahkan Keira lebih membencinya daripada Dimas. Pria yang seolah-olah meluncurkan pisau dari matanya.
Laki-laki itu membawanya ke bawah jembatan. Lalu dia melakukan apa yang tiga kali dilakukan Bayu padanya. Namun lebih.
Keira diam saat Bayu melakukannya. Keira tidak mau diam lagi. Semua menjadi samar-samar. Lalu datang sebuah rasa sakit yang lain.
Tiga Dinding, Satu Atap
Belum pernah ada begitu banyak orang yang memperhatikan Keira.
Lalu Keira masuk ke sebuah mobil. Hanya ada tiga dinding. Dinding bagian belakangnya tidak ada. Tapi kemudian pintu mobil ditutup berdebum. Ah, untunglah itu mobil biasa.
Namun Keira tiba-tiba mengantuk sekali. Ini pertama kali dia naik mobil, namun dia justru tertidur.
Empat Dinding, Satu Atap
“Namanya Keira.”
Ada perasaan yang jarang didengar Keira. Sedih.
Kebahagiaan untuk hal terasa kabur untuk saat-saat terakhir ini. Namun Keira tiba-tiba ingat apa yang tertulis di depan ruangan tempatnya berada sekarang.
KA-MA-huruf R, lalu ada ruang, JE-NA-huruf-yang-tidak-dihafal-Keira-huruf-A-huruf-H.