Kabut yang menyelimuti gedung-gedung di seberang semenanjung Kowloon, menjadi gambar latar sendu sore itu. Udara hangat-sejuk berhembus lirih, mengiringi Kanda Hastama memasuki area utama, ruang konser terbuka yang telah kelilingi penonton dengan gemuruh tepuk tangan selama sekitar 1 menit. Kanda berhenti tepat di titik tengah, memejamkan mata selama beberapa detik. Tepuk tangan reda sepenuhnya, nyaris serempak, saat Kanda Hastama mulai menaikkan biolanya ke arah bahu. Seketika dalam satu hentakan napas kuat, gesekan senar biola dan busurnya memecah senyap.
Kina menahan napas.
Musik penutup konser biola Kanda Hastama yang berkolaborasi dengan martial arts kali ini, seperti angin bertiup kencang. Menghentak. Detail. Notasi berkelindan dalam tempo cepat. Getaran emosi dalam membara, kemudian mengalir lambat. Lirih. Seperti udara pagi melewati sebongkah matahari. Menemani helai daun musim gugur yang jatuh.
Dari arah kiri seseorang berjalan perlahan memasuki area spot light.
Kina merasa sesak sepenuhnya.
Pria itu, Liam.
Pria yang ia jumpai pada acara after party usai konser tunggal Kanda di Wanchai tadi malam. Kina telah menduga Liam berasal dari salah satu kelompok bela diri mengingat acara itu hanya untuk tamu undangan. Namun tak menyangka Liam salah satu penampil utama. Kina sendiri hadir sebagai pemenang kompetisi menulis konsep konser Maxi Hunt sore itu.
Konsep yang selalu ia impikan namun lalu ia ragukan.
“Martial arts memeluk elemen sehari-hari, dan meninterpretasikannya dalam gerak.”
Kina teringat ucapan Liam semalam, saat Liam mengetahui Kina sempat ragu dengan keberhasilan konser sore itu. Terutama setelah penggemar musik Kanda disuguhi permainan spektakuler Kanda pada konser biola tunggal malam sebelumnya.
“Kanda menginterpretasikan petrikor ke dalam notasi, maka dalam martial arts makna petrikor dieksplorasi dalam gerak.”
Kanda tampil melampaui tataran teknik. Eksplorasinya mendalam dan selalu tepat dalam menumpahkan emosi sekaligus menahannya. Liam menunggangi setiap birama dengan gerak yang pasti. Baik notasi maupun jeda, semua melebur dalam kompleksitas gerak, seperti yang ia jelaskan pada Kina malam sebelumnya.
“Circular Motion – fleksibel, upaya kecil memberi dampak besar, harmoni dengan lawan, dengan dua elemen penting, yaitu kecepatan dan pengaturan waktu.”
Musik dan gerak keduanya melebur pada dimensi lain. Liam bergerak dalam keheningan magis berenergi bersama alam, menginterpretasikan kejatuhan, penerimaan, kebangkitan, dan kebebasan.
Kina menemukan dirinya membeku pada setiap gerakan itu.
Pada bagian akhir, mata Kanda terpejam. Tangannya terhenti di udara. Napasnya terhembus perlahan hingga dengung terakhir senar. Liam menutup gerakan selirih udara terakhir tanpa sendat.
Seluruh penonton, awan berarak, dan riak air seakan membeku beberapa saat. Kanda menurunkan tangan setelah senyap seutuhnya mengambil alih. Liam membuka mata.
Untuk terakhir kali seisi tempat itu pecah tepuk tangan membahana.
“Jangan pernah lagi ragu dengan impianmu.”
Kina membalikkan tubuh. Tercekat. Liam menatap lekat.
“Kamu tahu aku menulis konsep ini!?” Kina terhenyak.
Liam menangguk pasti, “Dari percakapan kita semalam. Bukan hanya suara dan kata-katamu yang aku dengar. Aku melihat matamu. Kesadaran tidak hanya hadir pada suara atau musik, namun juga gerakan, bukan?”
Liam tersenyum hangat. Jenis kehangatan yang berbeda dari udara pagi atau angin pelabuhan. Bukan juga seperti minuman yang mereka sesap malam sebelumnya saat hujan. Namun rasa hangat lain seperti yang kini menyusup di hati Kina.
Bergerak seperti puisi.