Kata orang, mencari pekerjaan di Jakarta itu semakin sulit setelah pandemi. Bahkan, banyak perantau terpaksa kembali ke kampung halaman karena tempat mereka bekerja harus mengurangi karyawan. Ada juga yang sampai gulung tikar.
Namun, itu tak membuat niatku untuk untuk merantau ke Jakarta surut. Karena dengan berada di perantauan, aku tak perlu lagi mendengar ocehan tetangga yang setiap hari semakin menyakitkan. Sering ocehan mereka membuat kepalaku sakit dan merasa lebih baik mati. Menutup telinga pun tak ada hasilnya. Selalu saja mereka memiliki celah untuk membisikkan kata-kata sindiran.
“Ih, udah sarjana kok masih di rumah aja?”
“Udah sarjana kok masih nganggur?”
“Sarjana masih nganggur? Apa uang kuliahnya nggak sayang? Kalau dikumpul kan bisa buat modal usaha?”
Masih banyak lagi kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, hingga keputusanku untuk merantau di tengah pandemi yang belum reda seutuhnya semakin bulat.
Setelah mengumpulkan sedikit modal, akhirnya aku sampai di ibu kota. Seperti yang dikatakan orang-orang, mencari pekerjaan itu susah. Tiga bulan di ibu kota, aku hanya mendapat beberapa panggilan intervieu online dari puluhan lamaran yang kukirim. Dan, hasilnya selalu mengecewakan.
Modal semakin menipis. Untuk makan saja harus dihemat. Di bulan keempat, tanpa adanya pemasukan, aku hanya bisa makan sekali sehari. Selebihnya, meringkuk di sudut kos-kosan. Aku menunggu siapa yang datang lebih dulu. Keberuntungan atau ajal.