Di hadapanku semuanya gelap.
Pekat, tanpa cahaya.
Kutelusuri asapnya yang mengundangku.
Kuikuti aromanya yang tajam membawaku.
Makin jauh aku melangkah, aroma itu makin tercium.
Sampai akhirnya bayangannya terlihat di balik tudung.
Hitam.
Merah.
Dan samar-samar.
Kusingkirkan tudung putih yang menyelimuti, sampai ia tampil utuh di hadapanku.
Aku terkesiap.
Air liurku menetes.
Pandanganku menyisir tiap jengkal tubuhnya.
Ia berkulit hitam pekat.
Bekas terbakar api yang sangat panas.
Bercak-bercak merah menyemir sebagian dagingnya yang terkelupas.
Ia teronggok, seakan-akan menanti untuk segera kuhabisi.
Kuangkat pisau tinggi-tinggi sebelum mengayun dan menghunjam dadanya.
Terdengar suara pisau beradu dengan tulangnya.
Belum cukup merdu.
Kucabut pisau lalu merayap ke atas.
Menyayat dan menguliti kulitnya yang tipis.
Sampai terdengar suara merdu saat pisau mengikir tulangnya perlahan-lahan.
Mencabik-cabik dagingnya.
Sekaligus menyemir tanganku dengan bercak-bercak merah.
Aku menyeringai menikmati helaian dagingnya yang teriris-iris.
"Pa, jangan dimakan dulu."
Serta-merta aku menoleh. Kulihat istriku menghampiri sambil membawa hidangan lain.
"Lho, kok, enggak boleh dimakan?" tanyaku.
"Ish, Papa lupa kalau sekarang ulang tahun Diaz? 'Kan, kita mau bikin kejutan. Makanya lampu Mama matiin."
"Oalah, baunya enak banget, sampe kecium dari kamar. Apalagi Mama tau, 'kan, kalo ayam bakar sambel merah itu favorit Papa?"
"Iya ..., tapi jangan dimakan dulu. Kasian anak kita, Keleus," ujar istriku, manyun.
TAMAT