Rima menangis tergugu di sudut kamar sang Ibu. Mata sayunya tidak berhenti menangis sejak melihat sang ibu terbujur kaku. Semakin berderai air matanya kala melihat bongkah nisan bertulis nama sang malaikatnya. Ibunya telah berpulang.
Sore tadi setelah menyapu halaman rumah, Rima kembali mengecek kotak surat depan rumah. Ia masih menunggu surat dari sang Ibu yang sedang jauh di negeri orang sana, surat kabar dari ibunya sudah telat tiga minggu dari tanggal biasanya. Selain rindu yang membuncah ia juga khawatir dengan keadaan sang ibu yang telat mengirim surat.
Malam harinya nenek yang tinggal bersama Rima tiba-tiba mendapat telepon dari agensi tempat ibunya bekerja.
“Ibu Nani dalam perjalanan akan dipulangkan ke kediamannya agar di makamkan di daerah asalnya.” Kata seseorang di seberang telepon.
Seisi rumah menjerit. Bukan surat kabar yang datang melainkan kabar kematian yang tiba. Rima limbung setelah histeris meraung bak sedang kerasukan.
“Rima, bangun nak.”
Rima bangun dari tidurnya dan di pandanginya sang nenek yang terlihat bingung.
“Ada apa nak? Kenapa kamu menangis dalam tidurmu?”
“Nek ibu mana?”
Neneknya tersenyum lalu keluar sebentar dan kembali masuk membawa sebuah amplop berwarna coklat.
“Ini surat dari ibumu. Ibumu meminta maaf karena telat berkirim surat, pekerjaannya padat. Bulan depan ia pulang.” Kata nenek tersenyum.
Rima lega bukan main. Ternyata rindunya pada sang ibu berdampak ke dalam mimpinya.