“Kamu pernah naik gajah?” tanya gadis itu sambil mengaduk-aduk gelas minuman yang sudah kosong.
“Aku pernah naik kuda,” celetukku, masih fokus menonton televisi.
“Gajah dan kuda itu beda”
“Tapi sama-sama bisa dinaiki, kan?”
“Bodo amatlah! Jadi pernah nggak?”
“Nggak pernah,” jawabku, lalu gadis itu tersenyum puas.
“Sama, aku juga,” timpalnya, aku menoleh sebentar, lalu bingung sendiri.
“Kalau melihat kura-kura?” Gadis itu kembali bertanya. Aku tidak tahu kenapa dia menanyakan hal-hal aneh seperti itu, tapi kalau aku tidak menjawab dia pasti marah.
“Aku pernah melihat kura-kura waktu kecil.”
“Aku tidak pernah melihat kura-kura.”
“Tapi kura-kura hewan yang umum.” tanyaku heran.
“Aku cuma melihat tempurungnya, kutunggu berjam-jam dia tidak mau muncul.”
“Hmm,” kataku, “Kalau gitu aku juga nggak pernah lihat kura-kura.”
“Kita sama!” katanya, lalu kembali tersenyum puas. Sekali lagi aku dibuat geleng-geleng karena tingkahnya.
“Nah, pernah lihat harimau itali nggak?”
“Apa bedanya harimau itali dengan harimau lainnya?” tanyaku bingung.
Gadis itu memejamkan kedua matanya, lalu berpikir sejenak, “Dia harimau, berasal dari itali, bisa bahasa itali. Makanan favoritnya pasta daging kijang.”
Aduh-aduh, batinku, “Ngggak ada harimau itali.”
“Oh, ya?”
“Adanya sumatra.”
“Kalau sumatra pernah lihat?”
“Pernah.”
Gadis itu kembali tersenyum,”Pada akhirnya kita memiliki banyak persamaan, ya?”
“Ya, banyak sekali.”
Gadis itu mendesah panjang, lalu menyandarkan kepalanya pada sofa sembari menatap langit-langit. Dia tampaknya tidak puas dengan semua jawabanku, tapi aku tidak ambil pusing.
“Apa kamu mencintaiku?”
Kali ini pertanyaannya membuatku terkejut. Karena itu kumatikan televisi, lalu menatapnya lekat-lekat, “Ya, aku mencintaimu.”
“Apa kamu juga mencintai teman kuliahmu?”
“Ya, aku juga mencintainya.”
“Aku atau dia, mana yang lebih kamu cintai? Aku lelah menjadi yang kedua.”
Kali ini aku diam tidak bisa menjawab. Gadis itu meletakkan gelas minuman pada meja kecil di sampingnya, kemudian memiringkan badannya menatapku. Matanya berbentuk seperti bulan setengah yang menggantung di langit malam. Di dalam bola matanya aku melihat perasaan gelisah yang menggeliat dengan tenang.
“Kamu tahu? aku sagat ingin memukulmu kepalamu sekarang," ucap gadis itu, lantas pergi meninggalkanku. Dari dalam kamar aku mendengar suara langkahnya yang perlahan menghilang seiring dia berjalan menuruni tangga.